Tuesday 10 May 2011

Dalil-Dalil Tentang Wajibnya Hijab 2/2

1.      Ahmad Ibnu Abdil Jabbar Al ‘Aththaridiy.

Al Imam Adz Dzahabi berkata : Ahmad Ibnu Abdil Jabbar Al ‘Aththaridiy meriwayatkan dari Abu Bakar Ibnu ‘Iyasy dan orang-orang yang sethabaqah dengannya, didlaifkan oleh banyak ulama.
Ibnu ‘Addi berkata : Saya melihat mereka ijma atas kedlaifannya, dan saya tidak melihat dia memiliki hadits munkar, sebab mereka mendlaifkannya karena dia tidak pernah bertemu dengan orang yang dia meriwayatkan hadits dari mereka.
 Ibnu Mathin berkata : Dia suka berdusta.
Abu Hatim berkata : Tidak kuat (laisa bilqawiyy).
Anaknya Abdul Rahman berkata : Dulu saya mengambil hadis darinya, dan kemudian tidak mengambilnya karena orang-orang mempermasalahkan.
Ibnu ‘Addi : Ibnu ‘Uqdah tidak mau meriwayatkan hadits darinya, dan dia menyebutkan bahwa dia memiliki qimathrun (wadah dimana buku dijaga) sehingga dia tidak segan-segan menyampaikan hadits dari siapa saja, meninggal tahun 272 H[211].
Dan Al Hafidz berkata dalam At Taqrib : Dlaif.[212]

2.      Begitu juga ada dalam isnad Al Imam Al Baihaqi perawi yang bernama Abdullah Ibnu Muslim Ibnu Hurmuz Al Makki dari Mujahid dan yang lainnya.
Al Hafidz Adz Dzahabi berkata : Dia dianggap dlaif  oleh  Ibnu Main, dan dia berkata : Dia suka memarfu’kan banyak sesuatu.
Abu Hatim berkata : Tidak kuat (laisa bilqawiyy).
Ibnu Al Madiniy berkata : Dia itu dlaif (dua kali) menurut kami, dan beliau berkata lagi : Dlaif.
Dan begitu juga dianggap dlaif oleh An Nasai.[213]
Al Hafidz berkata dalam At Taqrib : Dlaif.[214]
Saya berkata : Dua isnad ini keadaannya sangat jelek, hingga sampai pada derajat  yang jauh yang menjadikannya tidak tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak usah ditulis, dan di sini masih ada beberapa isnad yang derajat kedlaifan dan kemungkarannya tidak jauh berbeda dengan yang tadi, sehingga bisa dikatakan bahwa penisbatan ini tidak benar kepada Ibnu Abbas t, dan seandainya juga benar penyandaran ini kepadanya tentu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah menurut ulama ahli hadits, apalagi keadaannya seperti ini. Dan sungguh telah sah sanad-sanad kepada saudara sepupu Al Mushthafa r (Ibnu Abbas, maksudnya)dan kepada sahabat yang lainnya y sebaliknya dari makna yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath Thabari dalam tafsirnya, Al Baihaqi dalam Sunannya, serta Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya. Ditambah apa yang telah tsabit dengan sanad-sanad yang shahihah dari Rasulullah r sebagaimana yang akan ada penjelasannya tentang perintah beliau agar wanita berhijab dan menutupi diri. Dan inilah yang pertama yang saya hadirkan kepada para pembaca, yaitu atsar yang bersumber dari sebagian para sahabat y, diantaranya Abdullah Ibnu Masud t sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, beliau rahimahullah berkata : Telah menceritakan kepada saya Yunus, dia berkata telah memberitahukan  kepada kami Ibnu Wahb, dia berkata berkata telah memberitahukan  kepada kami Ats Tsauri dari Abu Ishaq Al Hamadaniy, dari Abi Al Ahwash dari Ibnu Masud, beliau berkata :( وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا(dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya) beliau berkata : Pakaian,”[215]
Saya berkata : Isnadnya sangat shahih sekali (Fi Ghayatish Shihhah), dan atsar ini juga di tuturkan oleh Al Imam Ibnu katsir dalam tafsirnya [216]kemudian Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabari menuturkan isnad lain dengan perkataannya : Muhammad Ibnu Basyar telah mengabarkan kepada kami, dia berkata Abdul Rahman telah memberitahukan kepada kami dari Sufyan dari Abu Ishaq dari Abu Al Ahwash dari Abdullah seperti hal itu.
Saya berkata : Isnadnya sangat shahih sekali (Fi Ghayatish Shihhah).
Dan Al Imam As Sayuthi berkata : Ibnu Jarir Ath Thabari, Ibnu Al Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Al Baihaqi dalam Sunannya telah mengeluarkan (dengan sanadnnya) dari Ibnu Abbas t berkenaan dengan firman-Nya U : ( وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا(dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya) beliau berkata : Perhiasan yang biasa nampak adalah wajah, kedua telapak tangan, dan celak mata,” terus Ibnu Abbas t berkata : Maka yang ini (wajah, kedua telapak tangan, dan celak mata ) dia tampakan kepada orang yang masuk menemuinya, kemudian mereka (wanita) tidak boleh menampakan perhiasannya kecuali kepada suaminya, atau ayah-ayahnya, dan seterusnya (yang tercantum dalam ayat di atas).
Kemudian beliau t berkata : Dan perhiasan yang boleh ditampakan kepada mereka (mahram) adalah kedua antingnya, kalungnya, dan gelangnya, dan adapun gelang kakinya, tangannya, lehernya dan rambutnya maka hal itu tidak boleh ditampakan kecuali kepada suaminya[217] .
Saya berkata : Riwayat Ibnu Abbas t ini –telah saya teliti sanadnya dalam tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari, dan perawinya seluruhnya tsiqat, namun munqathi’, karena di dalamnya ada Ali Ibnu Abi Thalhah yang meninggal tahun 143 H, dia meriwayatkan dari Ibnu Abbas t sedangkan dia tidak pernah bertemu dengannya, dan perantara keduanya adalah Mujahid Ibnu Jabr Al Makkiy- dan beliau itu adalah imam besar tsiqat tsab (kuat) tidak diragukan lagi- dan telah berhujjah dengan riwayat ini yaitu riwayat Ali Ibnu Abi Thalhah dari Ibnu Abbas t Al Bukhari dalam Al Jami’ Ash Shahih[218] beliau menuturkan dalam banyak tempat dalam kitabut tafsir secara ta’liq meskipun tidak memenuhi syaratnya dalam Al Jami’ Ash Shahih-dikatakan oleh Al Hafidh dalam At Tahdzib[219], Al Imam Al Muzzi di dalam Tahdzib Al kamal berkata seraya mengisyaratkan kepada riwayat tafsir ini < dalam biografi Ali Ibnu Abi Thalhah : Dia ini mursal dari Ibnu Abbas dan di antara keduanya adalah Mujahid[220]>. Dan telah berpegang kepada riwayat ini ‘Allamatu Asy Syam Muhammad Jamaluddin Al Qasimiy di dalam tafsirnya[221], Al Imam Al Qurthubiy dalam tafsirnya[222], dan begitu juga Al Imam Ibnu Katsir dalam banyak tempat di tafsirnya, maka kuatlah riwayat ini dan bisa dijadikan hujjah menurut kalangan ulama tafsir dan lainnya, dan sesungguhnya dhahir Al Qur’an dan As Sunnah serta atsar para sahabat dan para tabi’in menguatkannya, oleh sebab itu peganglah dia dan jadikanlah sebagai pendekatan…[223] (dinukil dari Risalatul Hijab karya As Sindiy).


Jawaban para ulama tentang perkataan Ibnu Abbas t seandainya benar penisbatannya kepada beliau

Pertama  : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala berkata : Dan salaf berbeda pendapat tentang perhiasan yang biasa nampak (zinah dhahirah), ada dua pendapat, Ibnu Masud mengatakan : Ia adalah pakaian, dan Ibnu Abbas bersama orang yang sejalan dengannya berkata : Ia adalah apa yang ada di wajah dan di kedua telapak tangan seperti celak dan cincin.
Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata : Dan sebenarnya bahwa Allah telah menjadikan perhiasan (zinah) itu dua macam, zinah dhahirah (perhiasan yang biasa nampak) dan zinah ghair dhahirah (perhiasan yang tidak biasa nampak), dan Dia membolehkan menampakan zinah dhahirah kepada selain suami dan mahram-mahramnya, dan adapun zinah bathinah (ghair dhahirah) maka tidak boleh dinampakan kecuali kepada suami dan mahram-mahramnya.
Dan sebelum ayat hijab turun, para wanita keluar dengan tidak mengenakan jilbab, sehingga laki-laki bisa melihat wajah dan kedua tangannya, karena waktu itu wanita dibolehkan menampakan wajah dan kedua telapak tangannya, sehingga waktu itu dibolehkan melihatnya karena dibolehkan bagi wanita untuk menampakannya, kemudian tatkala Allah U menurunkan ayat hijab dengan firman-Nya,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka", maka wanita menutupi diri dari laki-laki, dan itu terjadi di kala Nabi r menikahi Zainab Bintu Zahsy radliyallahu ‘anha, maka Nabi r mengulurkan tirai dan melarang Anas untuk melihatnya.

Dan tatkala Nabi r memilih Shafiyyah Bintu Huyayy setelah itu pada tahun Khaibar para sahabat berkata : Bila beliau menghijabinya berarti dia adalah Ummahatul Mu’minin (maksudnya wanita merdeka, pent), dan kalau tidak menghijabinya berarti dia adalah budaknya, maka beliau pun mengihijabinya.

Maka tatkala Allah U memerintahkan agar wanita tidak ditanya/dipinta kecuali dari belakang hijab, dan Dia memerintahkan isteri-isterinya, puteri-puterinya dan wanita kaum mu’minin supaya mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya, sedang jilbab adalah mula’ah, yaitu yang Ibnu Masud dan yang lainnya menamakannya rida, sedang orang umum menyebutnya izar, yaitu izar yang besar yang menutup kepala dan seluruh tubuhnya, Ubaidah dan yang lainnya telah menghikayatkan bahwa wanita mengulurkannya dari atas kepalanya sehingga tidak nampak kecuali matanya, dan diantara jenis pakainnya adalah niqab, adalah para wanita salaf mereka memakai niqab (cadar), dan dalam hadits shahih, “ sesungguhnya wanita yang sedang ihram tidak boleh memakai niqab dan kaos tangan,” Maka bila mereka diperintahkan untuk memakai jilbab, dan ini adalah menutup wajah atau menutup wajah dengan niqab, maka berarti wajah dan tangan termasuk zinah (perhiasan) yang diperintahkan untuk tidak dinampakan kepada laki-laki yang bukan mahram, maka oleh sebab itu tidak tersisa bagi laki-laki yang bukan mahram kehalalan memandang kecuali kepada pakaian yang nampak. Berarti Ibnu Masud menyebutkan akhir dari dua hal sedangkan Ibnu Abbas menyebutkan hal yang awal dari dua hal itu.[224]

Kedua : Al ‘Allamah Abdul Aziz Ibnu Abdillah Ibnu Baz rahimahullah berkata : (Dan adapun apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas t bahwa beliau menafsirkan,” kecuali yang biasa nampak darinya,” dengan wajah dan kedua telapak tangan, maka itu ditinjau dari sisi keadaan wanita sebelum turun ayat hijab, dan adapun setelah itu maka Allah U telah memerintahkan wanita agar menutupi seluruh tubuhnya, sebagaimana yang telah lalu dalam ayat-ayat yang mulia dalam surat Al Ahzab, dan yang menunjukan bahwa Ibnu Abbas menghendaki hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Ali Ibnu Abi Thalhah dari beliau, berkata : Allah telah memerintahkan wanita kaum mu’minin bila mereka keluar dari rumahnya untuk suatu keperluan agar menutup wajahnya dari atas kepalanya dengan jilbab dan hanya menempakan satu mata saja.
Dan hal ini telah diingatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan ulama ahli tahqiq lainnya, dan inilah kebenaran  (haq) yang tidak diragukan lagi, serta sudah pada ma’lum tentang fitnah dan kerusakan yang ditimbulkan akibat para wanita membuka wajahnya dan kedua telapak tangannya. Dan telah lalu Firman-Nya U,” Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir,” tidak ada pengecualian di sana, dan ini adalah ayat muhkamah, maka wajib berpegang kepadanya dan merujuk ke sana serta membawa hal lainnya kepadanya. Hukum dalam ayat ini umum buat isteri-isteri Nabi r dan wanita kaum mu’minin, dan telah lalu dalam tafsir surat An Nur hal yang menunjukan kepada hal ini.)[225]dan penggabungan ini lebih utama, karena ada riwayat dari Ibnu Abbas sendiri, beliau mengatakan,”Hendaklah dia mengulurkan jilbab ke wajahnya wala tadlrib bih,” Rauh berkata dalam haditsnya : saya berkata :Apa artinya wala tadlrib bih ? Maka beliau memperlihatkan kepada saya sebagaimana wanita wanita mengenakan jilbab, terus memperlihatkan bagian jilbab yang ada di pipinya seraya berkata : Dia menyambungkan dan mengencangkannya pada wajahnya sebagaimana jilbab itu diuraikan kewajahnya,” Ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Al Masa’il, beliau berkata : Telah memberitahukan kepada kami Ahmad-yaitu Ibnu Muhammad Ibnu Hambal-berkata : Telah memberitahukan kepada kami Yahya dan Rauh dari Ibnu Juraij beliau berkata : ‘Atha telah memberitahu kami beliau berkata : Abu Asy Sya’tsa telah memberitahu kami bahwa Ibnu Abbas t berkata : Hadits tadi….,” Dan sanadnya Shahih sesuai Syarat Al Bukhari dan Muslim.
Dan perkataan Ibnu Masud t dan yang sejalan dengannya adalah pendapat yang benar dalam penafsiran ayat ini karena didukung dengan ayat dalam surat Al Ahzab, yaitu firman-Nya,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".

Al Imam Abu Al Faraj Jamaluddin Abdurrahman Ibnu Al Jauzi rahimahullah : Firman-Nya,” وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ,” maknanya : Janganlah mereka menampakannya kepada laki-laki yang bukan mahram, dan perhiasannya itu ada dua macam : Khafiyyah (tersembunyi) seperti gelang, anting, gelang lengan bagian atas (dumluj), kalung dan lain-lain, dan Dhahirah (perhiasan yang nampak) yang diisyaratkan oleh firman-Nya,”kecuali yang biasa nampak darinya,” dan dalam hal ini ada tujuh pendapat :
1.      Itu adalah pakaian (tsiyab), ini diriwayatkan oleh Abu Al Ahwash dari Ibnu Masud, dan satu ungkapan beliau berkata : rida’ (jubah lebar)
2.      Itu adalah telapak tangan, cincin, dan wajah.
3.      Celak dan cincin, keduanya diriwayatkan oleh Said Ibnu Jubair dari Ibnu Abbas.
4.      Qulban, yaitu dua gelang, cincin, dan celak, ini dikatakan oleh Al Miswar Ibnu Makhramah.
5.      Celak, cincin, dan dan semir, ini dikatakan oleh Mujahid.
6.      Cincin dan gelang, ini dikatakan oleh Al Hasan.
7.      Wajah dan kedua telapak tangan, ini dikatakan oleh Adl Dlahhak.

Al Qadli Abu Ya’la berkata : Dan pendapat yang pertama adalah yang paling mendekati pada kebenaran, dan Al Imam Ahmad telah menetapkan hal ini, beliau berkata : Zinah dzahirah adalah pakaian, dan segala sesuatu dari badan wanita adalah aurat hingga kukunya juga, dan hal ini memberikan faidah atas haramnya memandang sesuatu dari (badan wanita lain) tanfa ada udzur (alasan syar’i), namun bila ada udzur seperti ingin menikahinya atas menegakan kesaksian atasnya, maka dalam kedua keadaan ini dia boleh melihat kepada wajahnya saja, adapun memandang kepadanya tanpa udzur maka itu tidak boleh baik disertai syahwat maupun tidak, dan sama saja apakah itu wajah, kedua telapak tangan, dan anggota badan yang lainnya. Kemudian bila dikatakan : Kenapa shalat tidak batal dengan membuka wajahnya ? maka jawabnya : Sesungguhnya menutupinya saat shalat ada masyaqqah maka dima’afkan dari hal itu.[226]

Al Imam Ibnu ‘Athiyyah berkata : Dan sesuai lafadz ayat itu maka jelaslah bagi saya bahwa wanita diperintahkan agar tidak menampakan wajahnya, dan dia harus berusaha menyembunyikan segala sesuatu yang masuk dalam kategori zinah, dan pengecualian itu tejadi pada sesuatu yang mesti nampak karena dharuratnya bergerak dan lain-lain, maka sesuatu yang nampak dari wanita atas dasar hal ini  karena situasi dharurat maka itu dimaafkan.[227]

Al Imam Al Qurthubi rahimahullah mengomentarinya seraya berkata : Saya berkata : Ini adalah perkataan yang baik, hanyasannya tatkala wajah dan kedua telapak tangan biasanya nampak secara adat dan dalam ibadah, yaitu dalam shalat dan haji, maka pantas sekali pengecualian tadi kembali kepada keduanya[228], ini ditunjukan oleh hadits  yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Aisyah radliyallahu anha-dan beliau menuturkan hadits Asma[229] sambil berdalil dengannya, sampai beliau rahimahullah berkata : Dan Ulama dari madzhab kami Khuwaiz Ibnu Mindad berkata : Sesungguhnya wanita bila cantik dan dihawatirkan fitnah karena wajah dan kedua telapak tangannya maka dia harus menutupinya, namun bila wanita itu tua renta atau jelek maka boleh baginya membuka wajah dan kedua telapak tangannya.[230]

Al Baidlawi rahimahullah berkata dalam tafsirnya : ,”Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya,” seperti perhiasan emas/perak (huliyy), pakaian, dan celupan pacar (semir) apalagi tempat-tempatnya kepada orang yang tidak halal menampakan kepadanya,” kecuali yang biasa nampak darinya,” ketika melakukan aktifitas-aktifitas seperti pakaian dan cincin, karena terdapat kesulitan dalam menutupinya.
Dan dikatakan : Yang dimaksud dengan zinah itu adalah tempatnya dengan taqdir membuang mudlaf[231], atau semua yang mencakup kecantikan yang sifatnya alami dan dibuat-buat, sedangkan yang dikecualikan adalah wajah dan telapak tangan karena keduanya bukan termasuk aurat, namun yang lebih jelas bahwa ini (perkataan bahwa wajah dan telapak tangan bukan aurat) adalah di dalam shalat bukan pada pandangan (laki-laki yang bukan mahram), karena sesungguhnya seluruh badan wanita merdeka itu adalah aurat yang tidak halal sedikitpun dilihat oleh selain suaminya dan mahramnya kecuali karena dlarurat, seperi mengobati dan menunaikan persaksian….

Asy Syihab dalam syarhnya berkata : Dan madzhab Asy Syafiiy sebagaimana dalam kitab Ar Raudlah dan yang lainnya bahwa seluruh badan wanita merdeka adalah aurat termasuk wajah dan kedua telapak tangannya secara muthlaq, dan dikatakan (dalam perkataan yang lemah) : Boleh melihat wajah dan telapak tangan bila tidak takut fitnah, dan sesuai perkataan pertama : Keduanya aurat kecuali dalam shalat, maka tidak batal shalatnya dengan membukanya.

Beliau berkata lagi : Firman-Nya,” kecuali yang biasa nampak darinya,” yaitu tanpa sengaja menampakannya seperti terbuka oleh angin, dan pengecualian dari hukum yang sudah pasti itu adalah dengan jalur isyarat, yaitu dia (wanita) dikenakan sangsi dengan sebab (menampakannya secara sengaja) di hari pembalasan, dan termasuk dalam hukum pengecualian adalah sesuatu yang mesti dinampakannya dalam rangka melaksanakan persaksian dan pengobatan dokter.

Beliau berkata lagi : perkataannya : Dan dikatakan : yang dimaksud dengan zinah adalah mawadli’uha (tempat-tempatnya),,, dan dalam satu manuskrip : mawaqi’uha, yang maknanya sama, imilah yang disetujui oleh Az Zamakhsyari sedang beliau ini berada di atas madzhab Abu Hanifah rahimahullah, dan beliau menjadikannya sebagai kinayah dari apa yang telah disebutkan seperti naqal jaib, dan ini adalah majaz (kiasan) dari penyebutan sesuatu yang menempati dan yang dimaksud adalah tempatnya. Dan dikatakan : Ini adalah dengan taqdir (mengkira-kirakan) adanya mudlaf sebagaimana yang disebutkan oleh Mushannif rahimahullah, dan dalam kitab Al Intishaf : Fiman-Nya,” dan janganlah mereka memukulkan kaki-kaki mereka………..,” memastikan bahwa menampakan zinah itu adalah yang dimaksud dari pelarangan, dan seandainya dibawa pada kemungkinan yang telah disebutkan maka mesti adanya kehalalan bagi laki-laki lain untuk melihat apa yang nampak dari angota-angota badan tempat perhisan tersebut, dan ini adalah pendapat yang bathil karena seluruh badan wanita adalah aurat menurut Asy Syafiiy dan Malik, dan adapun menampakan perhiasan saja (maksudnya kalung, gelang, cincin, anting-anting dan sebagainya) maka tidak ada perbedaan atas kebolehannya, karena tidak haram memandang gelang wanita yang sedang dijual pada tangan laki-laki. Adapun (perkataan yang mengatakan sebab tidak bolehnya menampakan perhiasan itu) karena membuat hati orang-orang fakir bersedih maka ini adalah pernyataan yang sama sekali tidak berdasar, makanya Mushannif mengatakannya dengan uslub melemahkan (tamridl) karena berbeda dengan madzhabnya, dan ini perlu ditinjau. Sedang ziiniyyah adalah bentuk nisbat dari zinah, dan dalam satu manuskrif : tazyiniyyah,,,dan perkataan mushannif : dan yang dikecualikan,,,yaitu berdasarkan pendapat Abu Hanifah rahimahullah, dan kedua telapak kaki serta kedua lengan dalam satu riwayat. Perkataannya : Badan wanita merdeka adalah aurat,,, sebagaimana dalam hadits,” Wanita adalah aurat masturah,” diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdillah Ibnu Masud t, namun tidak terdapat lafadh masturah, dan apa yang disebutkannya berupa perbedaan antara aurat di dalam shalat dan di luar shalat adalah madzhab Asy Syafiiy rahimahullah, dan di dalamnya ada perkataan Ibnu Al Hummam, coba sebaiknya rujuk.[232]
Asy Syaikh Al ‘Allamah Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Juzzi Al Kalbiy rahimahullah berkata :,” Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” Dia melarang menampakan perhisan secara umum kemudian mengecualikan perhisan yang biasa nampak darinya, yaitu yang mesti kelihatan dikala bergerak atau ketika memperbaiki keadaannya dan lain-lain, maka dikatakan : Kecuali yang bisa nampak adalah pakaian, oleh sebab itu wajib menutupi seluruh badan, dan ada dikatakan : Pakaian, wajah, kedua telapak tangan, dan ini adalah Madzhab Malik, karena beliau membolehkan membuka wajah dan kedua telapak tangannya di dalam shalat, dan Abu Hanifah menambahkan dua telapak kaki.[233]

Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata : Ini dalah perintah dari Allah bagi wanita-wanita mu’minah, dan sebagai ghirah dari-Nya terhadap suami-suami mereka hamba-hamba-Nya yang beriman, serta sebagai pembeda bagi wanita mu’minah dari sifat wanita masa jahiliyah dan perlakuan wanita musyrikah.

Beliau rahimahullah berkata : ,”Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” artinya : Janganlah mereka menampakan sedikitpun dari perhiasannya kepada laki-laki lain kecuali perhiasan yang tidak mungkin disembunyikan, Ibnu Masud berkata : Seperti rida’ dan tsiyab yaitu yang biasa dipakai oleh wanita Arab berupa jubah yang merangkap pakaiannya, dan bagian pakaian bawah yang yang terkadang nampak, maka dalam hal ini dia tidak berdosa, karena hal ini tidak mungkin disembunyikan, dan sama dalam hal ini yaitu pakaian wanita berupa jubah yang biasa nampak dan bagian pakaian yang tidak mungkin disembunyikan, dan orang yang menyatakan seperti perkataan Ibnu Masud adalah : Al Hasan, Ibnu Sirin, Abu Al Jauzaa, Ibrahim An Nakhai dan lain-lain.[234]
As Sayuthi rahimahullah berkata : وَلاَ يُبْدِيْنَ  janganlah mereka menampakan زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا yaitu wajah dan kedua telapak tangan maka boleh laki-laki lain melihatnya bila tidak hawatir fitnah menurut satu pendapat, dan pendapat kedua : Haram karena itu adalah sumber fitnah, dan inilah yang kuat demi menutup pintu (fitnah).[235]

(Ibnu Abi Hatim dan As Sayuthi meriwayatkan dalam Ad Durr dari Said Ibnu Jubair secara mauquf, bahwa beliau berkata : { زِيْنَتَهُنَّ  وَلاَ يُبْدِيْنَmaknanya : Janganlah mereka menanggalkan jilbabnya yaitu qina’ dari atas kerudungnya {.. إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ },”kecuali kepada …,” beliau berkata : Maka hal itu (membuka kepada selain yang disebutkan) adalah diharamkan.)[236]

Al ‘Allamah Ibnu Muflih Al Hanbali rahimahullah U  berkata : (Ahmad berkata : Dia tidak boleh menampakan perhiasannya kecuali kepada orang yang disebutkan di dalam ayat itu, dan Abu Thalib menukil perkataannya :< kukunya adalah aurat, bila dia keluar maka jangan menampakan sesuatupun , tidak pula sepatunya (khuff), karena khuff ini menjiplak bentuk telapak kakinya > dan saya lebih menyukai bila dia itu menjadikan pada baju lengannya kancing pas tangannya. Al Qadli menguatkan perkataan orang yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perhiasan yang biasa nampak itu adalah pakaian berdasarkan perkataan Ibnu Masud dan yang lainnya, tidak perkataan orang yang menafsirkannya dengan huliyy (perhisan seperti cincin, gelang, dll) atau dengan sebagian anggota tubuh, karena itu termasuk zinah khafiyyah (perhiasan yang tersembunyi), beliau berkata : Hal ini telah dinyatakan dengan jelas oleh Ahmad, beliau berkata : Perhiasan yang biasa nampak adalah pakaian, dan seluruh anggota tubuhnya adalah auarat, termasuk kukunya.)[237].

Al ‘Allamah Al Kasymiri rahimahullah berkata : (Bila anda mengatakan : Dan bila boleh menampakan anggota-anggota badan ini secara muthlaq maka apa artinya pengkhususan dan pengecualian tersebut ? Saya katakan : Dan siapa yang mengklaim bahwa Al Qur’an menganjurkan mereka (wanita) untuk membukanya ? namun konteks itu berkenaan dengan  menampakan perhiasan bagi orang yang dibolehkan di saat dlarurat, adapun orang yang tidak dlarurat maka hukum yang berlaku bagi mereka adalah seperti yang dijelaskan dalam ayat yang lain, yaitu (ayat) penguluran jilbab karena hal itu lebih tertutup baginya, dan bila boleh juga baginya membukanya, namun karena hal itu bisa menimbulkan fitnah maka Al Qur’an sangat menekankan untuk menutupinya dalam setiap keadaan.)[238]
Dan beliau rahimahullah berkata lagi : ( Sebab saya mengatakan : Sesungguhnya membuka wajah itu boleh seandainya tidak ada fitnah berdasarkan hadits Fadl Ibnu Abbas dan seorang pemudi pada waktu haji, maka Nabi r memalingkan wajahnya darinya dan berkata : Saya hawatir setan mengelabui antara mereka berdua,” maka pahamilah dan berterima kasih.)[239]

Al Alusi rahimahullah berkata : ( Dan Madzhab Asy Syafiiy-semoga Allah merahmatinya- sebagaimana dalam kitab Az Zawajir bahwa wajah dan telapak tangan baik atas maupun bawah sampai pergelangan dari wanita meskipun dia itu budak adalah aurat dalam pandangan (laki-laki yang bukan mahram,pent) menurut pendapat yang paling shahih, meskipun keduanya (wajah dan telapak tangan) bukan aurat di dalam shalat bagi wanita merdeka........sebagian kecil pengikut madzhab Syafiiy membolehkan melihat wajah dan telapak tangan dengan syarat aman dari fitnah, namun pendapat ini tidak dianggap dalam madzhab mereka (madzhab Asy Syafiiy), dan sebagian tokoh mereka menafsirkan apa yang biasa nampak dengan wajah dan kedua telapak tangan setelah menuturkan ayat itu (An Nur : 31) sebagai dalil bahwa aurat wanita itu adalah selain keduanya, dan dia menjadikan kehawatiran timbulnya fitnah sebagai alasan haramnya memandang keduanya, maka itu menunjukan bahwa tidak semua yang haram dilihat itu adalah aurat. Namun anda mengetahui bahwa pembolehan menampakan wajah dan kedua telapak tangan sesuai tuntutan ayat menurut mereka beserta perkataan mereka atas haramnya memandang kedua anggota badan itu secara muthlaq sungguh sangat jauh sekali (pertentangannya), maka perhatikanlah[240], dan ketahuilah bahwasannya bila yang dimaksud adalah larangan menampakan anggota-anggota badan tempat perhiasan itu, dan dikatakan termasuk di dalamnya wajah dan kedua telapak tangan dan memastikan perkataan bahwa keduanya adalah aurat dan haram menampakannya kepada selain orang-orang yang dikecualikan sesudahnya maka bisa jadi pengecualian dalam firman-Nya,” kecuali yang biasa nampak darinya,” adalah dari hukum yang sudah tetap  dengan cara isyarat yaitu adanya sangsi di Hari pembalasan, dan berarti maknanya adalah : Bahwa yang nampak darinya tanpa sengaja menampakannya seperti terbuka oleh angin, maka mereka tidak terkena sangsi dengannya di hari kemudian, dan sama dalam kategori hukum ini adalah apa yang mesti ditampakan dikala melakukan persaksian atau menjalani pengobatan, Ath Thabrani telah meriwayatkan begitu juga Al Hakim dan beliau menshahihkannya, Ibnu Al Mundzir dan Ulama lainnya dari Ibnu masud bahwa yang dimaksud dengan apa yang biasa nampak adalah pakaian dan jilbab, dan dalam satu riwayat adalah pakaian saja, dan begitu juga Al Imam Ahmad membatasi pada pakaian saja, dan penamaan pakaian dengan zinah (perhiasan) itu telah ada dalam Firman-Nya: خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ (pakailah pakaian yang indah di setiap (masuk) masjid,” Al A’raf :31 ) sesuai dalam kitab Al Bahr)[241]
Asy Syaikh Abu Hisyam Al Anshari : ( وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا ) Ini adalah ayat pertama dari tiga ayat sesuai susunan Al Qur’an, beberapa riwayat yang ada bisa dijadikan pendekatan bahwa ayat ini diturunkan sebelum ayat penguluran jilbab (Al Ahzab : 59), padahal riwayat-riwayat yang lain memberikan indikasi bahwa ayat itu diturunkan sesudah ayat penguluran, dan bagaimanapun juga  dua keadaan itu tetap masih bisa dibawa kepada makna yang shahih, oleh sebab itu kita tidak begitu penting membahasnya dari sisi ini.
Dan ayat ini memerintahkan wanita-wanita mu’minat agar menyembunyikan perhiasan (zinah) seluruhnya, sama saja baik  yang kita maksud dengan zinah di sini adalah zinah khalqiyyah (bawaan) seperti wajah, dua mata, hidung, dua bibir, rambut, dua pipi, dua telinga, dua pelipis dan anggota badan wanita lainnya, atau yang kita maksud adalah zinah muktasabah (perhiasan yang diusahakan) seperti gelang, cincin, semir, celak, fatkhqulbdumluj, anting-anting, iklil, pakaian yang terhiasi dan lain-lain, sesungguhnya ayat ini memerintahkan agar menyembunyikan seluruh perhiasan tanpa membedakan satu perhiasan dengan perhiasan yang lainnya,” kecuali yang biasa nampak darinya,”, sedangkan yang biasa nampak itu masih mubham (belum jelas) yang belum ditafsirkan oleh Al Kitab dan As Sunnah, bahkan membiarkannya dalam kemubhamannya, dan bangkitlah para sahabat dan para tabiin dan para ulama ahli tafsir menguak kemubhamannya, dan tak diragukan lagi bahwa bila mereka ijma atas sesuatu tentu sangat cukup dan memuaskan, serta tentu itu bisa menguak kemubhamannya dan pertentangan sekaligus, akan tetapi Allah menghendaki kemubhaman ini tidak terkuak sebagai rahmat terhadap umat ini, maka pendapat-pendapat mereka bertentangan dan bersebrangan sehingga hal itu berhak untuk kita biarkan pada keadaannya dan kita kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tatkala kita kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya ternyata kita dapatkan  kemubhaman ini tetap pada keadaannya, dan anda akan mengetahui bahwa tetapnya seperti itu adalah baik, dan marilah kita membahas satu sisi yang lain.
Sesungguhnya Allah U tatkala melarang menampakan perhiasan Dia menyandarkan pekerjaan kepada wanita, dan mendatangkan dengan fiil muta’addi, namun tatkala Dia mengecualikan Dia tidak mengatakan,” kecuali yang mereka tampakan darinya,” namun Dia mengatakan,” kecuali yang biasa nampak darinya,” Dia berpaling dari mempergunakan Fiil (kata kerja) muta’addiy kepada Fiil yang lazim dan tidak menyandarkannya kepada wanita, dan tuntutan ini bahwa wanita diperintahkan agar menutupi seluruh perhiasannya secara muthlaq, dan mereka tidak mempunyai keleluasaan sedikitpun dalam menampakan perhiasannya, ya ! sesungguhnya dia seandainya komitmen menutupi perhiasannya, dan membatasi diri dengannya, kemudian sebagian perhiasannya itu nampak tanpa kecerobohan dalam menutupinya dan tanpa  sengaja menampakannya, maka sesungguhnya dia tidak berhak dicela dan dikenakan sangsi nanti di sisi Allah U, inilah yang dipahami dari konteks ayat itu, dan inilah yang dimaksud dengan susunan kalimat.
Dan dari sinilah diketahui bahwa semua perhiasan yang memungkinkan bagi wanita untuk  menyembunyikannya maka dia diperintahkan untuk menyembunyikannya, sama saja apakah itu wajah, kedua telapak tangan, celak, cincin, kedua gelang, dan sesungguhnya dia bila melakukan taqshir (mengenteng-enteng) dalam menyembunyikan perhiasan seperti ini dan dia membukanya dengan sengaja maka dia dikenai dosa, dan bahwasannya semua perhiasan yang tidak mungkin menyembunyikannya – seperti pakaian luar umpamanya – atau mungkin menyembunyikannya namun perhiasan itu terbuka tanpa ada unsur kesengajaan si wanita untuk membukanya atau dia tidak merasa bahwa itu terbuka  maka dia tidak berdosa dan tidak pantas mendapatkan celaan, sebagaimana juga dia tidak berdosa dan tidak tercela bila membukanya secara sengaja untuk suatu keperluan, atau mashlahat yang memaksanya untuk membukanya, maka seolah-olah si wanita tidak secara langsung dan tidak sengaja membukanya namun kebutuhan dan mashlahatlah yang membukanya, oleh sebab itu dia tidak tercela, jadi firman-Nya U ,” kecuali yang biasa nampak darinya,” termasuk dalam makna firman-Nya,”Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya,”

Kesimpulan bahwa zinah itu ada dua macam,  macam yang mungkin disembunyikan, maka wanita diperintahkan untuk menutupi zinah macam ini kapanpun dia berada, dan macam kedua adalah zinah yang tidak mungkin disembunyikan atau mungkin menyembunyikannya namun terkadang terbuka tanpa ada unsur kesengajaan si wanita untuk membukanya, atau ada kebutuhan yang mendesak wanita untuk menampakannya, maka zinah macam ini adalah yang dimaksud dengan firman-Nya U,” Yang biasa nampak darinya,” si wanita tidak terkena sangsi dosa karena sebab perhiasan (zinah) ini nampak. Dan tatkala zinah macam ini berbeda-beda sesuai keadaan, kebutuhan dan mashlahat dan tidak mungkin membatasinya dengan batasan tertentu yang tidak menerima kelebihan dan pengurangan maka Allah dan Rasul-nya membiarkannya pada kemubhamannya sebagai kemudahan bagi umat ini dan menjauhi dari menyulitkannya.
Dan hal itu diberi contoh dengan pakaian luar, atau anggota tubuh yang terbuka angin tanpa sengaja, memandang wanita yang dikhithbah sebelum menikahinya, atau wanita membuka sebagian anggota badannya dihadapan dokter untuk tujuan pengobatan, atau membuka wajah dan kedua telapak tangan di hadapan saksi, ini dan hal yang serupa merupakan keadaan yang memaksa wanita untuk membuka sebagian anggota tubuhnya yang harus ditutupi secara ijma, dan tidak ada dosa dan celaan atasnya dalam gambaran-gambaran itu, karena sesungguhnya itu semua perhiasan-perhiasan yang tampak tanpa ada unsur kehendaknya.
Nah dari sini jelaslah bahwa menentukan,” Yang biasa nampak darinya,” dengan wajah dan kedua telapak tangan, atau cincin dan kedua gelang atau celak dan semir dan lain-lain adalah tidak benar, tetapi yang benar adalah membiarkannya di atas kemubhaman dan keumumannya, dan bahwa hal itu mencakup seluruh badan wanita tergantung kebutuhan dan keadaan, dan sesungguhnya orang-orang yang membatasinya pada anggota tertentu telah jatuh dalam tafrith, namun di sisi lain mereka juga jatuh dalam ifrath (berlebih-lebihan) karena mereka membolehklan menampakan bagian badan ini secara muthlaq baik ada hajat yang mendesak untuk membukanya ataupun tidak, padahal Allah U tidak memberikan kebebasan kepada wanita untuk menampakan sedikitpun dari perhiasannya, namun hanya memberikan maaf kepada mereka atas sesuatu yang nampak dengan sendirinya dari perhiasan-perhiasan itu.
Dan bila telah jelas makna ayat tadi maka hendaklah pembaca yang budiman selalu ingat bahwa Firman-Nya,”Dan janganlah mereka menampakan,” adalah fi’il mudlari’ yang mengandung makna nahyu (larangan) sedang larangan itu menunjukan keharaman, dan bila larangan itu datang dengan bentuk mudlari maka menunjukan larangan yang sangat. Jadi ayat itu sangat jelas sekali menunjukan bahwa menampakan perhiasan itu adalah haram atas wanita, maka dari itu, ini adalah merupakan dalil wajibnya hijab dan bahwa sesungguhnya wajah dan kedua telapak tangan adalah termasuk di dalamnya.
Dan orang-orang yang berdalih dengan ayat ini atas bolehnya menampakan wajah dan kedua telapak tangan, sama sekali saya tidak melihat sedikitpun sesuatu yang memuaskan, namun yang mereka jadikan sandaran adalah pemalingan ayat dari maknanya yang manshush (jelas) kepada makna lain seraya berdalil dengan perkataan Ibnu Abbas t dan para sahabatnya, sedangkan perkataan Ibnu Abbas sendiri menolak apa yang mereka kemukakan. Itu dikarenakan Ibnu Abbas dan sejumlah murid-muridnya  menafsirkan penguluran jilbab (dalam surat Al Ahzab : 59 pent) dengan menutupi wajah, dan tidak samar bagi mereka bahwa sesungguhnya mereka menafsirkan perintah dari perintah-perintah Allah U, dan sesungguhnya perintah-Nya U adalah menunjukan suatu kewajiban, dan sesungguhnya Allah mewajibkan hal itu untuk membedakan antara wanita merdeka dengan budak, dan sangat tidak mungkin memalingkannya dari batas kewajiban kepada sekedar sunnah saja, karena sudah barang tentu tujuan yang dimaksud tersebut akan hilang. Apakah mungkin mereka (Ibnu Abbas dan murid-muridnya) mengeluarkan pernyataan yang kontradiksi, mereka mengatakan wajibnya menutup wajah dan sekaligus mengatakan boleh membukanya ? Sama sekali tidak mungkin,” namun bisa dijadikan pendekatan dari perkataan Ibnu Abbas bahwa beliau berpendapat bahwa boleh membukanya karena dlarurat, Ibnu Jarir telah meriwayatkan darinya dalam penafsiran Firman-Nya,” Dan janganlah mereka menampakan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa nampak darinya,” beliau berkata : Dan perhiasan yang biasa nampak adalah wajah, celak mata, semir telapak tangan, dan cincin, ini boleh dia tampakan di dalam rumahnya kepada orang yang masuk menemuinya (Tafsir Ibnu Jarir 18/83-84), Ibnu Abbas tidak memfatwakan bolehnya membuka wajah dan telapak tangan secara muthlaq, namun beliau hanya memfatwakan bolehnya membuka keduanya di hadapan orang yang masuk menemuinya ke dalam rumah, kemudian yang dimaksud dengan orang-orang yang masuk menemuinya bisa saja kerabat-kerabatnya yang bukan mahram seperti anak anak paman/bibinya dan seperti saudara suaminya, seperti mereka ini sering sekali masuk rumah, kemudian Ibnu Abbas memandang bahwa menutupi diri dari mereka mendatangkan masyaqqah dan kesulitan, dan beliau mengambil istinbath bolehnya menampakan wajah dan kedua telapak tangan di hadapan mereka dari firman-Nya,” kecuali apa yang biasa nampak darinya,” maka seolah-olah bukanlah si wanita yang menampakan perhiasannya di hadapan mereka namun masyaqqahlah yang menampakannya. Dan bisa juga yang di maksud dengan orang-orang yang masuk menemuinya adalah setiap orang yang masuk setelah mendapat izin, namun secara umum pembatasan membuka hanya di dalam rumah memberikan isyarat bahwa Ibnu Abbas memandang bahwa sibuknya perempuan dengan pekerjaan rumahnya tergolong kebutuhan yang membolehkan si wanita membuka wajahnya di hadapan orang-orang tadi, beliau memandang boleh hanya pada keadaan tertentu saja, dan ini memberikan indikasi tidak bolehnya di lakukan pada pada keadaan yang lain. Oleh sebab itu bandingkan pendapat Ibnu Abbas ini dengan pendapat orang-orang yang membolehkan sufur (membuka wajah), dan mereka mengklaim bahwa Ibnu Abbas adalah tokoh rujukan mereka dalam hal ini…[242][243]

Adapun Al ‘Allamah Al Qurani Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, beliau berkata setelah menuturkan atsar-atsar ulama salaf dalam penafsiran firman-Nya U ,”kecuali yang biasa nampak darinya,”  Dan saya telah melihat dalam uraian-uraian yang dituturkan dari salaf ini perkataan-perkataan para Ahlul Ilmi tentang zinah dhahirah dan bathinah, dan bahwasannya semua itu kembali secara umum kepada tiga pendapat sebagaimana yang telah kami sebutkan :
Pertama : Bahwa yang dimaksud dengan zinah (perhiasan) adalah sesuatu yang dengannya si wanita menghias diri di luar asal bentuk aslinya (Ashlul Khilqah) dan memandang perhiasan tersebut tidak memestikan bisa melihat sedikitpun dari badannya sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud t dan yang sejalan dengan beliau : Sesungguhnya hal itu adalah pakaian luar, karena pakaian adalah perhiasan wanita di luar ashlul khilqah, dan pernyataan ini sangat jelas sekali karena adanya hukum dlarurat (menyembunyikannya,pent) sebagaiman yang anda lihat.
Dan pendapat ini adalah pendapat yang paling jelas menurut kami, dan lebih hati-hati serta lebih jauh dari sumber-sumber ribah (kecurigaan) dan dari sebab-sebab fitnah.
Pendapat kedua : Bahwa yang dimaksud dengan zinah (perhiasan) adalah sesuatu yang dengannya si wanita menghias diri dan di luar asal bentuk aslinya (Ashlul Khilqah juga, namun memandang perhiasan tersebut menyebabkan bisa melihat bagian badan si wanita, dan itu seperti semir, celak dan lain-lain, karena memandang perhiasan ini memestikan bisa melihat anggota badan yang dijadikan tempat perhiasan tersebut sebagaimana yang tidak samar lagi.
Pendapat ketiga : Bahwa yang dimaksud dengan zinah dhahirah tersebut adalah sebagian tubuh wanita yang merupakan ashlul khilqahnya berdasarkan perkataan orang yang mengatakan : Bahwa yang dimaksud apa yang biasa nampak darinya adalah wajah dan kedua telapak tangan- dan berdasarkan perkataan sebagian Ahlul Ilmi yang telah disebutkan.
Dan bila anda mengetahui hal ini maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kami telah menjelaskan dalam tarjamah Al Kitab Al Mubarak ini bahwa di antara bayan (penjelasan) yang terkandung di dalam Al Qur’an adalah adanya sebagian Ulama yang berpendapat suatu pendapat tentang (tafsir) suatu ayat, namun dalam ayat itu sendiri ada qarinah yang menunjukan ketidak shahihan pendapat tersebut[244], dan telah kami jelaskan juga dalam tarjamahnya bahwa di antara macam bayan yang dikandungnya yaitu bahwa pada umumnya di dalam Al Qur’an adalah adanya maksud makna tertentu dalam suatu lafadh, bila lafadh tertentu sering disebut berulang-ulang di dalam Al Qur’an, maka terbuktinya makna itu sebagai makna yang dimaksud dari lafadh ini secara umumnya(kebiasaannya) menunjukan bahwa makna itulah yang dimaksud dalam perselisihan ini, berdasarkan kebiasaan maksudnya dari lafadh tersebut di dalam Al Qur’an, dan kami dalam tarjamah itu telah menyebutkan beberapa contoh.[245]
Dan bila anda telah mengetahui ini maka ketahuilah bahwa dua macam bayan dari sekian macam bayan yang kami sebutkan dalam tarjamah Al Kitab Al Mubarak dan kami berikan baginya beberapa contoh, keduanya terdapat dalam ayat yang sedang kita kupas.
Adapun yang pertama : Maka penjelasannya : Bahwa perkataan orang yang mengatakan dalam makna,” Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” bahwa yang dimaksud dengan zinah (perhiasan) itu adalah wajah dan kedua telapak tangan umpamanya, telah ada di dalam ayat itu sendiri qarinah yang menunjukan tidak benarnya pendapat ini, yaitu bahwa zinah di dalam bahasa Arab adalah sesuatu yang dipakai oleh wanita untuk menghiasi dirinya yang merupakan hal di luar ashlul khilqahnya seperti perhiasan (cincin, gelang dll, pent) dan pakaian, maka penafsirkan zinah dengan sebagian tubuh wanita adalah bertentangan dengan makna yang jelas (dhahir), dan tidak boleh menafsirkan ayat itu dengan makna tersebut kecuali dengan adanya dalil yang wajib dijadikan rujukan, nah dengan ini anda bisa mengetahui bahwa pendapat orang yang mengatakan bahwa zinah dhahirah adalah wajah dan kedua telapak tangan merupakan pendapat yang bertentangan dengan dhahir makna lafadh ayat itu, dan itu merupakan qarinah yang menunjukan ketidakbenaran pendapat ini, oleh sebab itu tidak boleh lafadh ayat itu dibawa penafsirannya kepada pendapat seperti ini kecuali dengan dalil terpisah yang mewajibkan dijadikan rujukan.
Dan adapun macam bayan kedua yang telah disebutkan maka penjabarannya adalah sebagai berikut : Sesungguhnya lafadh zinah sering sekali disebutkan di dalam Al Qur’an dengan mengandung makna zinah kharijiyyah (perhiasan diluar) badan yang dihiasinya, dan tidak bermakna sebagian anggota tubuh yang dihiasinya, seperti Firman-Nya,” Hai anak Adam, pakailah pakaian kamu yang indah (zinah) di setiap memasuki mesjid,”[246]dan firman-Nya,” katakanlah :,”Siapakah yang mengharamkan perhiasan (zinah) dari Allah Yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hambanya,”[247]dan firman-Nya,” Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya(zinah),”[248]dan firman-Nya,” Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang,”[249] dan firman-Nya,”dan (Dia telah memciptakan) kuda, bighal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan,”[250]dan firman-Nya,”Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam (zinah) kemegahannya,”[251] dan firman-Nya,” Harta dan anak-anak adalah perhiasan(zinah)  kehidupan dunia,”[252]dan firman-Nya,”bahwa sesungguhnya kehidupam dunia itu hanyalah permainan, dan suatu yang melalaikan, perhiasan(zinah) …,”[253]dan firman-Nya,”Berkata Musa,” Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari raya(zinah),”[254]dan firman-Nya tentang kaum Nabi Musa,”Tetapi kami disuruh membawa beban-beban dari (zinah) perhiasan kaum itu,”[255]dan firman-Nya,”Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui (zinah) perhiasan yang mereka sembunyikan,”[256]. Lafadh zinah di dalam ayat-ayat itu semuanya bermakna adalah segala sesuatu yang menghiasi sesuatu namun bukan bagian dari sesuatu itu sebagaimana yang bisa anda lihat, dan karena secara umumnya (ghalibnya) zinah di dalam Al Qur’an itu bermakna seperti tersebut di atas maka ini menunjukan bahwa lafadh zinah dalam masalah yang menjadi polemik itu (maksudnya dalam surat An Nur : 31, pent) adalah sama seperti makna di atas yang biasa dipakai secara sering di dalam Al Qur’an Al ‘Adzim, dan itulah yang sudah dikenal dikalangan orang Arab seperti perkataan penyair :
Mereka mengenakan perhiasannya (zinah) seindah yang bisa kau lihat
Dan bila mereka melepaskannya
Maka tetap mereka adalah sebaik-baiknya wanita yang tidak berperhiasan
 Nah dengan penjelasan ini maka anda bisa mengetahui bahwa penafsiran zinah di dalam ayat itu (An Nur : 31) dengan wajah dan kedua telapak tangan adalah perlu dikoreksi lagi.
Dan bila anda telah mengetahui bahwa yang dimaksud dengan zinah di dalam Al Qur’an adalah sesuatu yang dijadikan sebagai penghias dari hal yang bukan dari asal khilqahnya dan bahwa para ulama yang menafsirkannya dengan hal ini berbeda pendapat menjadi dua pendapat : Sebagian mengatakan : Ia adalah zinah yang tidak memestikan dengan melihatnya bisa memandang bagian tubuh wanita seperti pakaian luar, dan sebagian lagi mengatakan : Ia adalah zinah yang memestikan dengan melihatnya bisa melihat bagian tubuh wanita yang merupakan tempat zinah tersebut seperti celak, semir (khidlab) dan lain-lain.
Penulis –semoga Allah memaafkan dan mengampuninya- (maksudnya Asy Syinqithi, pent) berkata : pendapat yang paling jelas dari kedua pendapat tersebut menurut saya adalah pendapat Ibnu Mas’ud t yaitu bahwa zinah dhahirah adalah : Sesuatu yang tidak memestikan dengan melihatnya bisa memandang bagian tubuh wanita ajnabiyyah (yang bukan mahram), kami katakan bahwa pendapat ini adalah yang paling dhahir (jelas) karena sesungguhnya pendapat ini adalah pendapat yang paling hati-hati dan paling jauh dari sebab-sebab fitnah, serta lebih suci bagi hati laki-laki dan hati wanita, dan tidak diragukan lagi bahwa wajah wanita merupakan pokok keindahannya, dan memandangnya merupakan salah satu sebab fitnah terbesar dengannya sebagaimana yang sudah pada diketahui, dan itulah yang berjalan sesuai kaidah-kaidah syariat yang mulia, dan itu merupakan kesempurnaan penjagaan dan menjauhi dari terjerumus kedalam sesuatu yang tidak pantas terjadi.[257] 
Syaikh Abul A’la Al Maududi semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas berkata : Dan adapun firman-Nya,” Kecuali yang biasa nampak darinya,” penjelasan-penjelasan yang berbeda-beda di dalam kitab-kitab tafsir telah menjadikan mafhum ayat ini sangat tertutup dan tidak jelas, padahal sesungguhnya ayat ini sangat jelas sekali tidak ada kesamaran di dalamnya, maka bila dikatakan pada ungkapan pertama,”Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya,”yaitu janganlah mereka menampakan keindahan pakaian-pakaian, perhiasan,wajah-wajah, tangan-tangan dan anggota badan mereka yang lainnya. Dia mengecualikan dari hukum yang umum ini dengan kata,”kecuali,” dalam ungkapan,”yang biasa nampak darinya,” yaitu sesuatu yang nampak yang tidak mungkin menyembunyikannya atau perhiasan yang nampak dengan sendirinya tanpa ada maksud menampakannya, dan ungkapan ini menunjukan bahwa wanita tidak diperbolehkan sengaja menampakan perhiasan ini, hanyasannya apa yang nampak darinya tanpa ada unsur kesengajaan dari mereka- seperti bila jubahnya terterpa hembusan angin sehingga terbuka sebagian perhiasannya nampak umpamanya-atau sesuatu yang nampak dengan dengan sendirinya yang tidak mungkin bisa disembunyikan- seperti jubah (rida’) yang menjadi rangkap pakaian wanita, karena itu tidak mungkin disembunyikan dan rida’ ini yang menyebabkan bisa dipandang karena bagaimanapun pasti dikenakan  oleh wanita- maka dia (wanita) tidak terkena dosa dari Allah U.
Dan inilah makna yang dijelaskan oleh Abdullah Ibnu Masud, Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Ibrahim An Nakha’i terhadap ayat ini, dan sebaliknya dari penafsiran ini sebagian ahli tafsir berkata : Sesungguhnya makna,”Kecuali yang biasa nampak darinya,” adalah apa yang ditampakan oleh orang sesuai adat kebiasaan yang berlaku, kemudian mereka memasukan di dalamnya wajah dan kedua telapak tangannya dengan semua hiasannya, yaitu menurut mereka wanita boleh menghiasi wajahnya dengan celak, lulur penghias, dan menghiasi tangannya dengan semir, cincin, dan gelang kemudian berjalan di hadapan orang-orang dengan sembari membuka wajah dan kedua telapak tangannya, dan makna inilah yang diriwayatkan (dengan sanad lemah, pent) dari Abdullah Ibnu Abbas t dan murid-muridnya[258], dan ini diambil oleh sejumlah besar pengikut madzhab Hanafi. Adapun kita sungguh tidak mampu memahami dengan berbagai kaidah-kaidah bahasa yang ada bahwa boleh jadi makna ,” Apa yang biasa nampak,” adalah apa yang ditampakan oleh manusia, karena perbedaan antara sesuatu yang nampak dengan sendirinya dengan apa yang sengaja ditampakan oleh manusia adalah sangat jelas sekali yang tidak seorangpun tidak mengetahuinya, dan dzahir dari ayat itu bahwa Al Qur’an melarang dari menampakan perhiasan dan memberikan rukhshah (keringanan) bila terbuka nampak tanpa ada unsur kesengajaan, maka terlalu membebaskan diri di dalam rukhshah ini sehingga sengaja menampakannya dengan sengaja adalah hal yang bertentangan dengan Al Qur’an dan bertentangan dengan riwayat-riwayat yang menetapkan bahwa wanita-wanita di zaman Nabi r tidak pernah mereka itu tampil di hadapan laki-laki lain dengan membuka wajahnya, dan bahwa perintah berhijab itu mencakup wajah, dan cadar itu telah menjadi bagian dari pakaian wanita kecuali di saat ihram. Dan sesuatu yang paling mengherankan adalah bahwa mereka yang membolehkan wanita membuka wajah dan kedua telapak tangannya kepada laki-laki lain berdalih atas hal itu dengan ungkapan bahwa wajah dan kedua telapak tangan itu bukan aurat, padahal sangat berbeda sekali antara hijab dengan menutup aurat. Aurat adalah sesuatu yang yang tidak boleh dibuka meskipun kepada laki-laki mahramnya, sedangkan hijab adalah lebih dari sekedar dari menutupi aurat, yaitu adalah sesuatu yang menghalangi/memisahkan antara wanita dengan laki-laki yang bukan mahramnya, dan sesungguhnya pokok pembahasan dalam ayat ini adalah hijab bukan menutupi aurat.[259]  [260]
Syaikh Abdul Aziz Ibnu Rasyid An Najdi rahimahullah berkata : Dan zinah wajah adalah zinah yang paling besar yang dimana wanita dilarang menampakan dan membukanya kepada laki-laki lain (ajnabiyy), sebagaimana laki-laki diperintahkan untuk menundukan pandangan darinya dan dari setiap yang haram, oleh sebab itu semua orang pasti memandang wajah wanita terlebih dahulu sebelum memandang yang lainnya karena Allah U  menjadikan padanya daya tarik tersendiri yang digandrungi semua orang dibandingkan zinah yang lainnya. Dan Allah U tidak mengkhithabi manusia kecuali dengan sesuatu yang mereka dipahami dengan fithrahnya, dan dengan sesuatu yang telah menjadi kebiasaan mereka serta dengan sesuatu yang sesuai dengan bahasa mereka. Dan bukan sesuatu yang masuk akal, dan juga bukan termasuk hikmah Allah U dan agamanya yang diturunkannya sebagai rahmat, hidayah, penjaga kehormatan dan sifat-sifat mulia serta melindunginya dengan mengharamkan zina dan wasilah-wasilahnya dan mengkeraskan hukumannya, namun kemudian Dia membolehkan bagi wanita-wanita untuk membuka wajahnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya, mereka menampakannya dan tabarruj (dengannya) di jalanan. Tak ragu lagi ini merupakan penyeru terbesar untuk berbuat zina dan sebab-sebabnya, perusakan kehormatan, dan bahaya buat laki-laki yang difithrahkan menyukai keanggunan dan kecantikan wajah wanita, serta menyebabkan berlebih-lebihan dalam menetapkan mahar karenanya..[261]
Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata : Sesungguhnya Allah U melarang menampakan perhiasan secara muthlaq kecuali yang biasa nampak darinya, yaitu yang mesti nampak seperti pakaian luar, dan oleh sebab itu Dia berfirman,” kecuali yang biasa nampak darinya,” dan tidak mengatakan : kecuali yang mereka tampakan darinya,” kemudian Dia melarang sekali lagi dari menampakan zinah kecuali kepada orang yang dikecualikan, berarti ini menunjukan bahwa zinah yang pertama berbeda dengan zinah yang kedua, zinah yang pertama adalah zinah dhahirah yang nampak bagi setiap orang dan tidak mungkin disembunyikannya, dan zinah yang kedua adalah zinah bathinah (yang tertutup) yang dengannya mereka menghiasi dirinya, dan seandainya zinah ini boleh (ditampakan) kepada setiap orang tentu ta’mim (pemberian sifat umum) dalam (zinah) yang pertama dan pengecualian dalam yang kedua tidak merupakan faidah yang ma’lumah.
4- sesungguhnya Allah U memberikan keringanan untuk menampakan zinah bathinah kepada pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan kepada wanita, dan kepada anak kecil yang belum memiliki syahwat dan belum mengerti mengenai aurat wanita, maka ini menunjukan kepada dua hal :
Pertama : Bahwa memperlihatkan zinah bathinah ini tidak halal kepada semua orang yang bukan mahram kecuali kepada dua kelompok orang ini saja.
Kedua  : Bahwa illat (alasan) dan ruang lingkup hukum adalah kekhawatiran akan fitnah akibat perempuan dan keterkaitan hati dengannya, dan tidak ragu lagi bahwa wajah adalah pokok kecantikan dan sumber fitnah tersebut maka menutupinya adalah wajib agar laki-laki yang masih memiliki hasrat terhadap wanita tidak terfitnah dengannya.[262]  
Syaikh Abu Bakar Al Jazairi hafidzahullah berkata : Firman-Nya U,”Dan katakanlah kepada wanita yang beriman,” Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka……..,”
Sesungguhnya dilalah ayat ini terhadapa hijab adalah sangat kuat sekali, karena ayat ini mengandung perintah menundukan pandangan dan menjaga kemaluan, sedangkan menjaga kemaluan itu tidak mungkin bisa terlaksana kecuali dengan menundukan pandangan, dan menundukan pandangan itu tidak  bisa terlaksan kecuali dengan adanya hijab yang sempurna. Dan telah lalu dalam pembahasan ini bahwa  menundukan pandangan itu bisa terlaksana dengan salah satu dari dua hal, dan kedua hal ini diperintahkan bila tidak ada ikhtilath (campur baur laki-laki dengan wanita), atau dengan adanya ikhtilath maka hal itu tidak bisa terlaksana, dan sangat sulit sekali bagi mumin dan muminah untuk mentaati Rabnya dalam keadaan (ikhtilath) seperti itu, nah dari sinilah diketahui bahwa makna kata hijab itu bukanlah seorang wanita menutupi kecantikannya  saja, namun makna yang haq darinya adalah adanya penghalang dan pembatas yang bisa mencegah campur baurnya laki-laki dengan wanita dan wanita dengan laki-laki, nah dalam keadaan seperti inilah menjaga pandangan dan kemaluan bisa terlaksana. Dan dikarenakan terkadang ada keperluan yang sangat penting yang mengharuskan wanita keluar dari rumahnya, maka Allah U  mengizinkannya keluar, namun tanpa menampakan perhiasannya, bahkan dia harus menutupinya kecuali yang memang diperlukan terbuka seperti mata untuk melihat jalan, atau telapak tangan untuk mengambil sesuatu, atau pakaian yang dia kenakan. Dan inilah makna pengecualian di dalam ayat ini,”kecuali yang biasa nampak darinya,” dan dengan ini banyak ulama dari kalangan shahabat dan tabi’in serta orang-orang yang sesudah mereka menafsirkannya.

Dalil kelima

Firman-Nya U :

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ
Artinya : Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya (An Nur :31)

Dan perintah ini mengandung perintah wanita untuk menutupi wajah dan lehernya, dan penjelasan hal ini adalah : Bahwa wanita bila diperintahkan mengulurkan khimarnya (kerudungnya) dari atas kepalanya ke dadanya untuk menutupi dadanya itu, maka secara tidak langsung dia sudah diperintahkan menutupi anggota badan yang terletak di antara kepala dan dadanya yaitu wajah dan lehernya, hanyasannya hal itu tidak disebutkan secara langsung di sini karena sudah diketahui bahwa mengulurkan khimar ke  dada itu sudah pasti menutupi wajah dan leher itu.

Al Ikhtimar secara bahasa sudah pasti menutupi wajah.

Sebagian orang Arab berkata dalam menyebutkan kecantikan seorang wanita yang sedang menutupi wajahnya :

Katakan kepada si cantik jelita yang mengenakan khimar penutup wajah
,”Engkau telah merusak ibadah saudaraku yang bertaqwa
pancaran khimar dan cahaya pipimu di belakangnya
sungguh mengagumkan wajahmu ini, kenapa tidak terbakar

Al Albani berkata : Dia telah menyebutkan gadis cantik itu bahwa khimarnya dia kenakan di wajahnya juga.[263]
 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan : khumur (jamak dari khimar, pent) adalah (kain) yang menutupi wajah dan leher. Dan jalabib (jamak dari jilbab, pent) adalah kain yang ulurkan dari atas kepala (hingga ke bawah badan) sehingga tidak nampak dari badan pemakainya kecuali dua mata saja.[264]
Syaikh Abdul Aziz Ibnu Khalaf hafidhahullah berkata : Allah U berfirman,” Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,”Allah U telah memerintahkan wanita agar tidak menampakan sedikitpun dari perhiasannya kecuali yang  nampak darinya tanpa sengaja, kemudian Dia U hendak mengajarkan wanita bagaimana menutupi tempat-tempat perhiasan itu dengan mengulurkan khimar yang dia kenakan di kepalanya, maka Dia berfirman,” Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung,” yaitu dari kepala dan bagian atas wajah,”ke dadanya,” yaitu dada dia, sehingga dengan hal seperti ini dia telah menjaga/menutupi kepala dan sekitarnya serta menutupi dada dan anggota badan di bawahnya, juga bagian leher dan sekitarnya, supaya dengannya si wanita bisa menjamin tertutupnya perhiasan asli dan cabang-cabangnya. Maka barang siapa yang mengecualikan suatu anggota dari anggota badan yang diharamkan ditampakan dengan nash Al Qur’an Al Aziz itu, maka dia harus mendatangkan dalil yang mengkhususkannya hal itu dan yang menentukan pengecualian tersebut, dan hal ini tidak mungkin bisa tercapai, karena hal ini membutuhkan nash yang sharih (jelas) dari Al Qur’an Al Aziz, atau dari As Sunnah Al Muthahharah, dan mana mungkin bagi mereka yang mengecualikan wajah dari itu semua dengan hal-hal yang sifatnya dugaan belaka  mampu mendatangkan dalil yang qathi’? dan diantara bukti yang kuat yang menguatkan apa yang kami katakan akan haramnya menampakan zinah ashliyyah (anggota badan) dan manqulah (celak dan lain-lain, pent) adalah apa yang dilakukan Rasulullah r terhadap isterinya Shafiyyah, dan apa yang dilakukan oleh Ummahatul Mu’minin serta wanita-wanita yang berada pada masa Rasulullah r setelah turunnya ayat ini dan ayat dalam surat Al Ahzab, mereka keluar dengan tertutup penuh sempurna dengan Khimar (kudung) dan jilbab (jubah rangkap).[265]
Syaikh Abdul Aziz Ibnu Khalaf berkata juga : Firman-Nya,” ,” Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,” sangat jelas sekali memerintahkan mengulurkan khimar dari kepala ke dada, karena wajah adalah termasuk bagian kepala yang wajib ditutupi secara akal, syari’at dan kebiasaan. Dan tidak satu dalilpun yang mengeluarkan wajah dari penamaan kepala dalam bahasa Arab, sebagaimana tidak ada satu nashpun yang mengeluarkan atau mengecualikannya baik dengan manthuq Al Qur’an dan As Sunnah maupun dengan mafhum keduanya. Sedangkan pengecualian sebagian orang terhadapnya dan penafian mereka  bahwa wajah itu tidak dimaksud dalam umumnya perintah menutupinya adalah tertolak dengan mafhum syari’ dan lughawiy (bahasa) dan terkubur oleh perkataan Ulama dari kalangan salaf dan khalaf, sebagaimana pendapat ini juga tertolak oleh dua kaidah fiqih yang sudah terkenal dikalangan ulama fiqh yang berkecimpung dalam masalah sunnah yaitu :
Pertama : Bahwa hujjah istbat (Yang menetapkan) didahulukan atas hujjah nafyi (yang meniadakan).
Kedua : Sesungguhnya bila terjadi pertentangan antara hal yang membolehkan dengan hal yang melarang maka dalil yang melarang didahulukan atas dalil yang membolehkan.
Dan tempat yang ketiga : Ayat hijab dalam surat Al Ahzab, ayat itu sangat sharih (jelas) sekali mengharuskan menutupi wajah, karena itu adalah tanda pengenal (yang membedakan wanita merdeka dari budak)[266]
Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin berkata : Firman-Nya U,”Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudungnya ke dada mereka,” sesungguhnya khimar adalah kain yang dipakai wanita untuk menutupi kepalanya dengannya seperti ghadaqah, maka bila dia diperintahkan mengulurkan khimar ke dadanya maka secara langsung dia juga sudah diperintahkan untuk menutupi wajahnya, baik karena itu merupakan keharusan (lazim) dari perintah tersebut atau dengan qiyas, karena sesungguhnya bila dia wajib menutupi leher dan dadanya, maka otomatis menutupi wajah adalah lebih wajib, karena dia adalah letak kecantikan dan sumber fitnah, sesungguhnya orang yang mencari-cari kecantikan tidak akan bertanya kecuali tentang kecantikan wajahnya, bila wajahnya cantik dia tidak akan begitu memperhatikan kecantikan anggota tubuh yang lainnya, oleh sebab itu bila mereka mengatakan : Si Fulanah cantik, maka tidak dipahami dari ungkapan itu kecuali kecantikan wajah. Maka jelaslah bahwa wajah itu adalah sumber kecantikan baik dari sisi dicari orang, ataupun yang diberitakan mereka. Maka bila keadaannya seperti itu maka bagaimana mungkin bisa dipahami bahwa syari’at yang bijaksana ini memerintahkan menutupi dada dan leher namun kemudian memberikan keringanan untuk membuka wajah.[267]
Dan  Al ‘Allamah Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata : Al Bukhari rahimahullah berkata dalam kitab shahihnya : Bab “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka”, dan Ahmad bin Syabib berkata : Telah memberitahukan kepada kami ayahku dari Yunus, Ibnu Syihab berkata dari Urwah dari  ‘Aisyah radhiyallahu 'anha beliau berkata : Semoga Allah merahmati para wanita muhajirat pertama, tatkala Allah U turunkan “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka” mereka merobek muruth (kain-kain mereka yang tebal) kemudian mereka berikhtimar dengan kain itu[268]dari Shahih Al Bukhari.
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari ketika menerangkan hadits ini, perkataannya,” : mereka berikhtimar,” yaitu mereka menutup wajah-wajahnya, dan caranya adalah dengan menutupkan khimar pada kepalanya dan mengulurkannya dari sisi sebelah kanan ke pundaknya yang sebelah kiri, dan inilah yang disebut dengan taqannu’, Al Farra berkata : Adalah mereka pada zaman jahiliyyah, wanita di antara mereka mengulurkan khimarnya dari belakanggnya dan membuka bagian depannya, maka mereka diperintahkan untuk menutupinya), Al Hafidz berkata lagi dalam kitab Al Asyribah (Minuman) di sela-sela beliau mendefinisikan khamar (Minuman keras) : Dan di antaranya khimar perempuan, karena dia itu (khimar) menutupi wajahnya)….Asy Syinqithi rahimahullah berkata lagi berkenaan dengan hadits Aisyah ini : Dan hadits yang shahih ini sangat jelas sekali menjelaskan bahwa wanita-wanita shahabiyyat yang disebut di dalamnya memahami bahwa makna firman-Nya, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka” menuntut untuk menutupi wajah mereka, dan sesungguhnya mereka merobek sarung-sarungnya kemudian mereka berikhtimar dengannya yaitu menutupi wajahnya sebagai realisasi atas perintah Allah dalam firman-Nya, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka” yang menuntut untuk menutupi wajah mereka- Dan dengan ini semua pastilah bagi orang yang obyektip (munshif) : Bahwa ihtijabnya wanita dari laki-laki dan penutupan atas wajahnya dari mereka merupakan sesuatu yang tsabit (ada secara pasti) dalam As Sunnah Ash Shahihah yang menafsirkan terhadap maksud Kitab Allah U. Dan Aisyah radiyallahu ‘anha telah memuji mereka atas kesegeraannya dalam merealisasikan perintah-perintah Allah di dalam kitabnya. Dan suatu hal yang ma’lum bahwa mereka tidak memahami kewajiban menutupi wajah dalam firman-Nya, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka” kecuali dari Nabi r, karena beliau ada di antara mereka, dan mereka itu selalu bertanya kepadanya tentang segala seuatu yang mereka anggap sulit dipahami di dalam masalah agama mereka, Dan Allah U berfirman,”Dan kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka,”[269]maka tidak mungkin mereka menafsirkannya dari diri mereka sendiri….(dikutip dari Adhwaaul Bayan)
Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan  dari hadits  Shafiyyah  Binti Syaibah, ia  berkata : Di saat kami bersama Aisyah, beliau berkata : Para wanita menyebutkan wanita-wanita Quraisy dan keutamaan mereka, maka Aisyah radhiyallahu 'anha berkata : Sesungguhnya wanita-wanita Quraisy itu memiliki keutamaan, dan sesungguhnya saya Demi Allah tidak melihat wanita yang lebih utama dari wanita Anshar yang sangat cepat sekali membenarkan Kitab Allah dan beriman kepada wahyunya, Telah diturunkan Surat An Nur, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka” maka laki-laki mereka pulang menemui mereka seraya membacakan kepada mereka apa yang Allah turunkan di dalam Surat itu, seorang laki-laki membacakan kepada isterinya, puterinya, saudarinya, dan kepada wanita-wanita yang merupakan kerabatnya, maka tidak ada satupun wanita di antara mereka kecuali dia bangkit mengambil sarungnya yang tebal kemudian mereka beri’tijar dengannya sebagai realisasi pembenaran dan keimanan terhadap apa yang diturunkan Allah di dalam Kitab-Nya, maka kemudian di waktu shubuh mereka telah berada di belakang Rasulullah r sambil beri’tijar[270] seolah-olah ada gagak di kepala mereka), makna dari mu’tajirat (mereka beri’tijar) adalah : mukhtamirat (menutupi wajahnya) sebagaiman yang telah dijelaskan tadi dalam riwayat Al Bukhari, sedang beri’tijar adalah mengikatkan khimar di kepala disertai dengan menutupi wajah. Ibnu Al Atsir berkata :  Dan di dalam hadits Ubaidillah Ibnu ‘Addi Ibnu Al Khiyar : Dia (laki-lak yang dimaksud) datang sambil beri’tijar dengan surbannya, Wahsyiyy tidak melihat darinya kecuali kedua mata dan kedua kakinya. Al I’tijar adalah melipatkan surban pada kepalanya dan mengulurkan bagian darinya pada wajahnya dan tidak meletakan  bagian darinya di bawah dagunya.
Al ‘Allamah Al Qur’aniy Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata : Maka anda bisa melihat Aisyah radhiyallahu 'anha dengan disertai ilmunya, pemahamannya, dan ketaqwaannya beliau memuji kepada mereka dengan pujian yang agung ini, dan dengan terang-terangan menyatakan bahwa beliau tidak melihat wanita yang lebih utama dari wanita Anshar yang sangat cepat sekali membenarkan Kitab Allah dan beriman kepada wahyunya,”dan itu merupakan dalil yang wadlih (jelas) bahwa pemahaman mereka akan wajibnya menutup wajah dari firman-Nya U, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka,” adalah merupakan di antara bukti pembenaran mereka terhadap Kitab Allah dan sebagai dorongan keimanannya akan wahyu yang diturunkan.[271]Dan ini merupakan dalil yang jelas bahwa ihtijabnya wanita dari laki-laki, serta perlakuan mereka menutupi wajahnya adalah sebagai bentuk pembenaran (tashdiq) terhadap Kitab Allah dan keimanan terhadap wahyu yang diturunkan sebagaimana yang bisa anda saksikan. Kalau ada keheranan maka adalah keheranan kita dari sikaf sebagian orang yang menggolongkan dirinya di jajaran Ahli Ilmu yang mengklaim bahwa di dalam Al Qur’an dan As Sunnah tidak ada dalil yang menunjukan keharusan wanita menutupi wajahnya dari laki-laki yang bukan mahram, padahal seungguhnya wanita-wanita shahabat telah melakukannya sebagai bentuk perealisasian mereka akan perintah Allah dalam Kitab-Nya dan sebagai bentuk keimanannya terhadap wahyu yang diturunkan, dan makna ini telah ada dengan pasti (tsabit) di dalam shahih Al Bukhari sebagaimana yang telah anda lihat sendiri tadi, sungguh ini merupakan bagian dari dalil yang paling agung dan paling jelas terang tentang keharusan hijab atas seluruh wanita kaum muslimin seperti yang anda lihat.[272]















































Dalil Keenam

Firman-Nya U :

وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ
Artinya: Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.(An Nur : 31).

Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairiy[273] : Firman-Nya U,” Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan,” Sesungguhnya dilalah ayat ini terhadap hijab yang sempurna adalah lebih jelas dan lebih kuat dari ayat-ayat yang sebelumnya, itu dikarenakan sesungguhnya dampak fitnah terhadap laki-laki yang ditimbulkan dengan sebab mendengar suara gelang kaki bila wanita menghentakan kakinya di saat berjalan lebih kecil dibandingkan fitnah yang ditimbulkan akibat memandang wajahnya dan mendengar lantunan pembicaraannya. Maka bila Allah U mengharamkan dengan ayat ini wanita menghentakan kakinya karena karena khawatir kedengaran suara gelangnya sehingga orang yang mendengarnya tertarik dengannya, maka keharaman memandang wajahnya –yang merupakan pusat kecantikannya- adalah lebih dasyat dan lebih haram.[274]
Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata : Firman-Nya U,” Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan,”  yaitu janganlah wanita menghentakan kakinya sehingga diketahui apa yang dia sebunyikan berupa gelang kaki dan lainya yang biasa dipakai untuk berhias buat laki-laki. Maka  bila perempuan dilarang memukulkan kakinya karena karena kawatir laki-laki terfitnah dengan suara perhiasan kakinya dll, apa gerangan dengan membuka wajahnya.
Mana yang lebih besar fitnahnya laki-laki mendengar suara gelang kaki dan dia tidak mengetahui siapa dia, dan bagaimana kecantikannya, dia tidak mengetahui apakah wanita itu gadis atau nenek-nenek, dan dia tidak mengetahui apakah buruk rupa atau cantik jelita, mana yang lebuh besar fitnahnya, ini atau memandang wajah cantik nan jelita, anggun nan menawan yang sangat menarik dan mengundang pandangan terhadapnya ? Tentunya laki-laki yang masih normal dan mempunyai hasrat terhadap wanita mengetahui mana fitnah yang lebih besar dan mana yang lebih berhak ditutupi dan disembunyikan ??![275]
Syaikh Abdul Aziz Ibnu Khalaf berkata : Firman-Nya U,” Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan,” Di ambil dari sini bahwa Allah U mengharamkan atas wanita melakukan segala sesuatu yang mengundang fitnah, hingga berupa gerakan dan suara, dan ini merupakan puncak dalam menentukan etika bagi muslimah, dan menjaga kehormatannya serta menghindarkan kejahatan darinya. Maka seandainya ada sesuatu yang lebih samar/tersembunyi  darinya tentu Dia U akan menyebutkannya sebagai bentuk pengarahan dan pengajaran bagi wanita muslimah, sungguh sangat memuliakan Allah di saat dia  merealisasikan perintah-Nya dan mengamalkan ajaran-Nya. Dan sungguh sangat menyepelekan dan merusak terhadap apa yang telah Dia berikan kepadanya di saat dia menyalahi perintah-Nya. Nah dari sini jelaslah bagi kita sebagaimana jelas bagi manusia semuanya bahwa wanita bila dia berhijab lagi menutupi tempat-tempat perhiasannya, maka sesungguhnya tabiat laki-laki menginginkan melihat sesuatu yang sedikit nampak darinya, namun dia sudah terjaga dengan cahaya di bawah hijabnya yang diakui oleh semua orang.
Berbeda dengan wanita yang menampakan wajahnya yang telah menjual murah miliknya baik yang asli maupun yang sengaja dia buat-buat kepada setiap orang yang melihatnya- maka setiap yang diobral murah itu pasti dihinakan- sungguh Allah telah mencabut darinya cahaya yang diberikan kepada orang yang taat dan bertaqwa kepada-Nya. Seandainya wanita yang membuka dan memamerkan wajahnya dan wanita yang merelakan dirinya dijajakan murah kepada setiap preman dan laki-laki tak berakhlak mereka (maksudnya wanita itu) mengetahui cahaya dan kemuliaan yang ada dibalik penutup wajahnya itu tentu dia bersegera mengenakannya, Maha Suci sang Pengatur yang memiliki keajaiban-keajaiban pada ciptaan-Nya.
Maka Allah U memberikan tuntunan bagi wanita yang mentaatinya, dan memberi taujih kepada mereka dengan taujih yang paling sempurna, serta mengajarkan kepada mereka ilmu yang bermanfaat yang dengannya mereka menjadi bagian yang bermanfaat bagi masyarakat manusia dan menjadi ibu yang shalihah lagi mulia..
Dan demi ini semua Al Qur’an Al Aziz telah datang dengan dengan mengarahkan mereka kepada taujih yang dicintai dan diridlai Allah, Al Qur’an memulainya dalam ayat ini dengan anggota badan yang paling tinggi dan paling utama, yaitu kepala, dan mengakhirinya dengan yang paling bawah dan paling rendah, yaitu kaki, sehingga bisa diambil kesimpulan dari ini semua bahwa wanita aurat, haram atasnya menampakan sedikitpun dari anggota badan yang bisa dilihat oleh laki-laki yang bukan mahram, sampai apa yang mereka pergunakan untuk mempercantik dirinya, sama saja dalam hal ini apakah yang nampak ataupun yang tersembunyi mulai dari bagian kepala hingga telapak kakinya.[276]
Syaikh Nashiruddin Al Albaniy rahimahullah : Firman-Nya U :,” Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan,” Dan ini menunjukan bahwa wanita diwajibkan menutupi kakinya juga, karena kalau tidak diwajibkan maka wanita di antara mereka bisa menampakan perhiasannya yang dia sembunyikan, seperti gelang kaki, dan tentu dia tidak membutuhkan untuk menghentakan kakinya, namun dia tidak bisa untuk melakukannya, karena hal itu sangat bertentangan dengan syari’at, dan pelanggaran seperti ini tidak pernah terjadi pada zaman kerasulan, oleh sebab itu salah seorang diantara mereka mencari hilah (akal-akalan) dengan menghentakan kakinya supaya laki-laki mengetahui perhiasan yang dia sembunyikan, maka Allah melarang mereka dari melakukan hal itu.[277]
Dan dinukil dari Ibnu Hazm rahimahullah perkataannya bahwa ayat ini adalah nash yang menunjukan bahwa kedua kaki, kedua betis termasuk yang tersembunyi dan tidak halal menampakannya.
Dan tidak ragu lagi bahwa fitnah yang timbul karena membuka wajah adalah lebih besar dan lebih dasyat bahayanya dari sekedar fitnah membuka kedua telapak kaki atau menghentakan kakinya, Wallahu  ‘Alam.




Dalil Ketujuh

Firman-Nya U :


وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاَّتِيْ لاَ يَرْجُوْنَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِيْنَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَالله ُسَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Artinya: Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haidl dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian[278] mereka dengan tidak (bermaksud) menampakan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka.Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (An Nur : 60)

Syaikhul Mufassirin Ibnu Jarir Ath Thabari rahimahullah berkata : Allah U mengatakan : Dan (Qawa’id) wanita-wanita yang sudah berhenti dari (usia) melahirkan anak karena sudah tua, mereka tidak haidl dan tidak hamil lagi, bentuk tunggalnya adalah qaa’id,” yang tiada ingin kawin (lagi),” Dia mengatakan : Mereka yang sudah putus dari keinginan kawin sehingga tidak ada hasrat lagi kepada suami (laki-laki),” tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian,”Dia mengatakan : Maka tidak ada dosa dan halangan atas mereka untuk menanggalkan pakaiannya, yaitu jilbabnya, yaitu yang berupa qina’ yang dikenakan sebagai rangkap kerudung, dan rida’ (jubah) yang dikenakan sebagai rangkap pakaiannya, tiada dosa atas mereka untuk menanggalkannya di hadapan laki-laki yang merupakan mahramnya ataupun laki-laki asing, dengan tidak (bermaksud) menampakan perhiasan.
Apa yang kami katakan telah dikatakan pula oleh ahli tafsir lain : Beliau menyebutkan ulama-ulama yang mengatakannya. Telah memberitahukan kepada kami Ali,, beliau berkata : Telah memberitahukan kepada kami Shalih, beliau berkata : Telah memberitahukan kepada saya Muawiyyah, dari Ali Dari Ibnu Abbas t firman-Nya,” Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haidl dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi),” Yaitu wanita itu tidak ada dosa atas dia berada dirumahnya dengan hanya mengenakan baju kurung (dir’u) dan kerudung (khimar), dan menanggalkan jilbabnya, selama tidak berusaha menampakan sesuatu yang dibenci Allah, dan ini adalah firman-Nya,” tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakan perhiasan,” kemudian Dia berfirman,” dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka,” saya diberitahu dari Al Hasan, berkata : Saya mendengar Abu Muadz berkata : Ubaid telah memberitahu kami, berkata : Saya mendengar Adl Dlahhak berkata tentang firman-Nya,” menanggalkan pakaian,” : Yaitu jilbab yang dinamai juga qina’, ini bagi wanita tua yang sudah putus usia hamil, tidak mengapa dia tidak memakai jilbab sebagai rangkap kerudungnya, dan adapun setiap wanita muslimah lagi merdeka, maka bila dia sudah menginjak usia baligh hendaklah mengulurkan jibab sebagai rangkap khimarnya, dan Allah U berfirman di dalam surat Al Ahzab,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu,”….
Kemudian beliau meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid, beliau berkata,”pakaiannya,”  yaitu jilbabnya, Ibnu Zaid berkata : menanggalkan khimar, Ibnu Masud berkata : Jilbab adalah rida’ atau milhafah (mantel), sampai akhirnya beliau rahimahullah berkata : Dan Firman-Nya,” dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka,” berkata : Bila mereka menjaga iffah dengan tetap memakai jilbab dan rida’ itu maka perbuatan mereka dengan memakainya itu lebih baik baginya daripada menanggalkannya, dan dengan seperti apa yang kami katakan, para ahli tafsir juga mengatakan hal yang sama) kemudian beliau menyebutkan dengan sanadnya dari Mujahid, beliau berkata : Yaitu mereka memakai jilbabnya.. dan Asy Sya”biy beliau mengatakan : Meninggalkan itu, yaitu meninggalkan meletakan pakaian.[279]
Al Imam Abu Bakar Al Jashash rahimahullah : Dan firman-Nya U : وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاَّتِيْ لاَ يَرْجُوْنَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِيْنَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَالله ُسَمِيْعٌ عَلِيْمٌ  Ibnu masud t dan Mujahid berkata : Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haidl dan mengandung) yang tiada ingin kawin yaitu mereka yang sudah tidak mempunyai hasrat kawin lagi, sedang yang dimaksud pakaiannya adalah jilbab-jilbabnya. Dan Ibrahim dan Ibnu Jubair berkata : Rida’ (jubah). Al Hasan berkata : Jilbab dan minthaq. Dan dari Jabir Ibnu Zaid : Mereka menanggalkan khimar dan rida’. Abu Bakar berkata : Tidak ada perselisihan bahwa rambut wanita tua adalah aurat yang tidak diperbolehkan laki-laki asing memandangnya, sebagaimana halnya rambut wanita muda, maka tidak tidak benar yang dimaksud dengan ayat adalah menanggalkan khimar di hadapan laki-laki asing.
Bila dikatakan : Allah di dalam ayat ini hanya membolehkan menanggalkan khimarnya di saat sendirian yang tidak ada seorangpun melihatnya, Maka Jawabannya: kalau begitu tidak ada artinya pengkhususan wanita tua dengan hal itu, karena wanita muda juga boleh melakukan hal itu di saat sendirian, nah dari sini ada dalil yang menunjukan bahwa wanita tua hanya dibolehkan menanggalkan  rida’nya (jubah perangkap) di hadapan laki-laki asing setelah dia menutupi kepalanya, dan boleh baginya dengan dalil ini dia membuka wajah dan tangannya karena dia itu sudah tidak menarik lagi, dan Dia U berfirman,” وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ,” maka dia dibolehkan meletakan jilbabnya, dan Allah memberitahukan bahwa berlaku sopan dengan tidak menanggalkan jilbabnya di hadapan laki-laki asing adalah lebih baik baginya.[280]
Al Imam Al Faqih ‘Imaduddin Ath Thabari yang terkenal dengan Ilkiya Al Harras rahimahullah  berkata : Firman-Nya U (وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاَّتِيْ لاَ يَرْجُوْنَ نِكَاحًا ) yang dimaksud Allah dengannya adalah wanita lanjut usia, dan Dia membolehkan baginya menanggalkan  rida’ atau lihaf (mantel/jubah) atau khimar. Ibnu Abbas berkata : Yang dimaksud dengannya adalah jilbab yang merupakan rangkap khimar, dan sudah pada ma’lum bahwa dia tidak diperbolehkan membuka sedikitpun aurat badannya, karena di saat sendirian sesungguhnya wanita tua dan wanita muda adalah sama saja, dan bila dihadapan orang lain maka wajib membawa penafsirannya kepada jilbab dan kain yang dijadikan rangkapan khimar bukan khimarnya itu, sebab fungsi jilbab adalah  menutupi dengan sangat tertutup rapi, sedangkan kalau khimar saja terkadang bagian kepala dan lehernya terbuka, maka Allah menjelaskan bahwa menutupi dirinya dengan sangat tertutup itu tidak wajib atas mereka sebagaimana diwajibkannya atas wanita muda, karena memandang mereka itu tidak menimbulkan fitnah seperti fitnah yang ditimbulkan akibat memandang wanita muda, oleh sebab itu Dia berfirman di akhir ayat,” وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ ,” [281]
Dan Al Imam Muhyissunnah Al Baghawi rahimahullah di dalam penafsiran (وَالْقَوَاعِدُ ) dari Rabi’ah Ar Ray’, berkata : Mereka adalah wanita-wanita tua yang bila dilihat oleh laki-laki, mereka merasa jijik dengannya, adapun wanita yang masih memiliki sisa-sisa kecantikannya dan menarik hasrat maka tidak termasuk dalam ayat ini.[282]
Abul Qasim Mahmud Ibnu Umar Az Zamakhsyari Al Khawarizmi berkata dalam tafsirnya : Firman-Nya U ,”( وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاَّتِيْ لاَ يَرْجُوْنَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِيْنَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَالله ُسَمِيْعٌ عَلِيْمٌ  ) Dan yang dimaksud dengan pakaian adalah pakaian luar yang nampak seperti milhafah dan jilbab yang merupakan rangkapan khimar(غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِيْنَةٍ ) tanpa menampakan  perhiasan, yaitu perhiasan yang tersembunyi yang dimaksud dengan firman-Nya,”Dan janganlah menampakan perhiasannya kecuali kepada suaminya……,” atau tidak ada maksud tabarruj dengan menanggalkan (jilbab itu) namun hanya menginginkan meringankan saja di kala membutuhkannya, namun menjaga kesopanan (dengan memakai tetap jilbab) adalah lebih baik baginya dari menanggalkannya. Tatkala telah menerangkan hal yang boleh Dia akhiri dengan sesuatu yang mustahab (disukai) dengan harapan dari-Nya mereka memilih amalan yang lebih utama dan lebih bagus, seperti firman-Nya,”dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada ketaqwaan,”[283]dan,”dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang ) itu lebih baik bagi kamu,”[284]  [285]
Al Imam Nashiruddin Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Al Munayyir Al Iskandari Al Malikiy rahimahullah  :( Firman-Nya U : ,”(( وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ Az Zamakhsyari menetapkan ayat di atas dzahirnya, dan nampak bagi saya – Wallahu ‘ Alam- bahwa firman-Nya U (غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِيْنَةٍ ) masuk dalam sebuah ungkapan : di padang pasir tidak ada tanda yang bisa dijadikan petunjuk,” begitu juga yang dimaksud di dalam ayat ini : dan wanita-wanita lanjut usia yang tidak memakai perhiasan yang bisa dipakai untuk tabarruj, karena pembicaraan adalah berkenaan dengan wanita yang seperti ini sifatnya, dan seolah-olah maksudnya dari itu adalah bahwa perlakuan sopan mereka dengan tidak menanggalkan jilbabnya adalah lebih baik baginya, maka apa gerangan dengan wanita yang memakai pakaian yang mengandung perhiasan ? dan lebih dari itu bahwa Dia menjadikan tidak menanggalkan pakaian (jilbab) bagi wanita lansia (lanjut usia) dalam tataran menjaga iffah (menjaga kehormatan) ini sebagai pemberitahuan bahwa menaggalkan pakaian (jilbab) bukan merupakan perbuatan iffah, ini bagi wanita lansia, maka apa gerangan dengan wanita muda yang segar ? Wallahu ‘Alam.[286]
Al Imam Al Baihaqi berkata dalam Sunannya : Bab (atsar-atsar yang datang berkenaan dengan wanita yang sudah berhenti dari haidl dan hamil, Abu Ali Ar Raudzbari telah memberi kami kabar, Abu Bakar Ibnu Dasah telah memberitahu, Abu Dawud telah memberi tahu kami, Ahmad Ibnu Muhammad Al Marwazi telah memberitahu kami, Ali Ibnu Al Husain Ibnu Waqid telah memberitahu kami dari ayahnya dari Yazid An Nahwiyy dari Ikrimah dari Ibnu Abbas t, berkata : Dan katakanlah kepada kaum mu’minat,” Hendaklah mereka menahan pandangannya…..,” kemudian dinasakh/dihapus dan dikecualikan darinya,” Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haidl dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka.Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,”[287]
Al Imam Abu Al Faraj Ibnu Al Jauziy rahimahullah  berkata : Firman-Nya U,” menanggalkan tsiyab (pakaian) mereka,” yaitu dihadapan laki-laki, dan yang dimaksud dengan tsiyab adalah jilbabrida’, dan qina’ yang berada sebagai rangkap kudungnya, ini adalah yang dimaksud dengan tsiyab (pakaian) bukan seluruh pakaiannya.[288]غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِيْنَةٍ  ) yaitu tanpa ada maksud mereka memperlihatkan perhiasannya dengan menanggalkan jilbab tersebut, sedangkan yang dimaksud dengan tabarruj itu adalah wanita menampakan kecantikannya, (وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ ) yaitu keadaan mereka tidak menanggalkan pakainnya itu adalah,” lebih baik bagi mereka,” . Ibnu Qutaibah berkata : Orang Arab berkata : Imraatun wadli’un artinya bila wanita sudah tua maka dia menanggalkan khimarnya, dan (ungkapan) ini tidak dipakai kecuali bagi wanita tua. Al Qadli Abu Ya’la berkata : Dalam ayat ini ada dilalah bahwa dibolehkan bagi wanita tua membuka wajah dan kedua tangannya di hadapan laki-laki, sedangkan rambutnya maka haram memandangnya sebagaimana rambut wanita muda.
Ar Raziy berkata di dalam tafsirnya : Tidak ada keraguan bahwa Allah U tidak mengizinkan mereka menanggalkan semua pakaiannya, karena dengannya semua aurat akan terbuka, oleh sebab itu para ahli tafsir mengatakan : Yang dimaksud dengan pakaian di ini adalah jilbabburud, dan qina’ yang merupakan rangkap kerudung, dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas t bahwa beliau membacanya,” أَنْ يَضَعْنَ جَلاَبِيْبِهِنَّ,dan dari As Suddiy dari guru-gurunya :  أَنْ يَضَعْنَ خُمُرَهُنَّ عَنْ رُؤُوْسِهِنَّ,” dan dari yang lain, dia membaca : أَنْ يَضَعْنَ مِنْ ثِيَابِهِن )Sebab Allah U  mengkhususkan mereka dengan hal itu karena fitnah dengan sebabnya sudah hilang terangkat dari diri mereka, dan mereka sudah mencapai keadaan seperti ini, seandainya berat  dugaan mereka bahwa keadaannya sebaliknya maka tidak halal mereka menanggalkan jilbabnya, oleh sebab itu Dia berfirman,” dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka,” dan hal ini dijadikan lebih baik bila lebih jauh dari fitnah, dan ini berarti bahwa bila ada dugaan kuat bahwa fitnah masih bisa terjadi, maka mereka wajib untuk tidak menanggalkannya sebagaimana halnya wanita muda.[289]
Al Imam Abu Abdillah Al Qurthubi rahimahullah  berkata : Firman-Nya U : غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِيْنَةٍ maknanya mereka tidak menampakan dan tidak sengaja memperlihatkan perhiasan untuk supaya dilihat, karena itu merupakan sesuatu yang paling jelek dan paling jauh dari kebenaran. Tabarruj adalah buka-bukaan dan sengaja menampakan diri untuk dilihat mata orang lain, seperti kalimat buruj musyayyadah dan burujus sama wal aswar yaitu tidak ada yang menghalangi untuk melihatnya, dan dikatakan kepada Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu 'anha : wahai Ummul Mu’minin apa pendapat engkau tentang pencelup, gelang, kedua anting, gelang kaki, cincin emas, dan pakaian tipis ? Maka beliau berkata : Wahai sekalian wanita, cerita kalian sama saja semuanya, Allah telah menghalalkan perhiasan bagi kalian, tanpa menampakannya kepada orang yang tidak halal bagi kalian menampakannya kepada mereka[290].[291]
Dan dari Ashim Al Ahwal dia berkata : “Kami pernah masuk menemui Hafshah bintu Sirin  dan dia telah menjadikan jilbabnya seperti ini, dan dia menutupi mukanya dengannya maka kami berkata kepada beliau semoga Allah merahmati engkau, Allah U berfirman : “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haidl dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakan perhiasan”  itu adalah jilbab, Ashim berkata : Maka beliau berkata kepada kami : “Apakah ada sesuatu setelah itu ?  Maka kami berkata “dan mereka berlaku sopan (tidak menanggalkan jilbabbnya) adalah lebih  baik mereka) maka beliau berkata : “Ini adalah penetapan hijab[292]
Syaikh Ismail Haqa rahimahullah  berkata : (Maka tidak ada dosa atas mereka untuk menanggalkan) dihadapan laki-laki (pakaiannya ) yaitu pakaian luar seperti  jilbab dan izar yang biasa dipakai perangkap pakaian dan qina’ yang merupakan rangkap kerudung[293]
Dan beliau rahimahullah berkata juga : “Ketahuilah sesungguhnya wanita tua bila tidak menarik hasrat lagi maka boleh  dipandang karena sudah aman dari syahwat, dan dalam hal ini ada isyarat yang menunjukan bahwa segala sesuatu bila sudah keluar dari sumber fitnah dan sumber kehawatiran-kehawatirannya sudah reda maka urusan jadi mudah, kesulitan menjadi hilang dan dibolehkankanlah kebolehan atau rukhshah, namun ketaqwaan adalah berada di atas urusan fatwa, sebagaiman disiyaratkan oleh Allah U  dan mereka berlaku sopan (tidak menanggalakan jilbabbnya) adalah lebih  baik baik mereka” dan dalam hadits tidak akan sampai seorang hamba pada derajat orang-orang yang bertaqwa sehingga dia meningglkan sesuatu yang tidak berdosa karena hawatir jatuh kepada yang mengandung dosa.[294] Ibnu Sirin berkata : “Saya tidak pernah menggauli perempuan baik dalam keadaan sadar dan  dalam keadaan tidur kecuali Ummu Abdillah, dan sesungguhnya saya melihat seorang wanita di dalam tidur kemudian saya tahu bahwa dia tidak halal bagi saya maka saya memalingkan pandangan,[295]  ada sebagian orang yang mengatakan seandainya akal saya dalam keadaan terjaga seperti  akal Ibnu Sirin dalam keadaan tidur.[296]
‘Allamatul Qashim Abdurrahman Ibnu Nashir As Sa’di rahimahullah  berkata : (فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ )maksudnya (tidak ada) kesulitan dan dosa (أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ ) (menanggalkan pakaian mereka) yaitu pakaian luarnya seperti khimar dan lainnya yang dikatakan oleh Allah tentang perempuan,”Dan hendaklah mereka menutupkan kudung mereka ke dadanya,” maka wanita seperti mereka ini boleh membuka wajahnya karena aman dari yang dilarang darinya dan padanya. Dan dikarenakan meniadakan dosa atas mereka dalam hal menanggalkan pakaiannya, mungkin saja sebagian orang menduga dari pembolehan ini bolehnya memakai segala sesuatu, maka dugaan seperti ini ditolak dengan firman-Nya,” dengan tidak (bermaksud) menampakan perhiasan,” Yaitu tanpa ada maksud menampakan perhiasan kepada orang lain berupa berhias dengan pakaian luarnya sambil menutup wajahnya dan menghentakan kakinya supaya perhiasan yang dia sembunyikan diketahui orang, sebab berhias saja yang dilakukan oleh seorang wanita meskipun dia itu menutupi dirinya dan meskipun dilakukan oleh wanita tua yang tidak menarik lagi, tetap menimbulkan fitnah dan membuat orang yang melihatnya berdosa.[297]
Al ‘Allamah Al Qur’ani Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah  berkata : Dan pendapat yang lebih jelas dalam tafsir firman-Nya,” menanggalkan pakaian,” adalah menanggalkan pakaian yang biasa dipakai rangkap di atas khimar dan baju kurung seperti jilbab yang menutupi khimar dan baju kurung, maka firman-Nya U dalam ayat yang mulia ini,” dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka,” merupakan dalil yang jelas bahwa wanita yang masih memiliki kecantikan dan masih mempunyai hasrat menikah (syahwat seksual,pent) tidak diperbolehkan meletakan sedikitpun dari pakaiannya dan tidak boleh leha-leha dalam menutupi diri di hadapan laki-laki yang bukan mahram.[298]
Al ‘Allamah Abdul Aziz Ibnu Abdillah Ibnu Baz rahimahullah  berkata :Allah U memberitahukan bahwa wanita tua yang tidak ada keinginan lagi untuk menikah, tidak ada dosa atas mereka untuk menanggalkan pakaiannya dari wajah dan kedua tangannya bila mereka tidak (bermaksud) menampakan perhiasanmaka bisa diketahui dengannya bahwa yang menampakan perhiasannya tidak diperbolehkan menanggalkan pakaiannya dari wajah dan kedua tangannya dan perhiasannya yang lain, dan bahwa dia mendapat dosa dalam hal ini meskipun sudah tua, karena setiap barang bekas pasti ada pemulungnya,[299]dan karena tabarruj itu mendatangkan fitnah terhadap wanita yang bertabarruj itu meskipun sudah tua, maka apa gerangannya dengan wanita muda dan cantik bila dia bertabarruj ? Tidak ragu lagi dosanya lebih besar, dan sangsinya lebih dasyat, serta fitnahnya lebih besar. Allah U mensyaratkan pada diri si wanita tua itu bahwa dia sudah tidak ada hasrat nikah lagi, dan ini tak lain-Wallahu ‘Alam- melainkan karena harapan menikahnya itu mendorongnya untuk bersolek dan tabarruj dengan harapan ada laki-laki yang melirik, maka dia dilarang dari menanggalkan pakaiannya yang menutupi kecantikannya demi menjaga dirinya dan orang lain dari fitnah, kemudian Dia U menutup ayat dengan mendorong wanita tua agar bersikap iffah, dan Dia menjelaskan bahwa itu lebih baik bagi dirinya meskipun tidak bertabarruj, sehingga jelaslah dengan itu keutamaan hijab dan menutupi diri dengan pakaian meskipun dari wanita tua, dan bahwa itu lebih baik bagi mereka dari pada meletakan pakaiannya, maka wajiblah keadaan berhijab dan berlaku iffah dari menampakan perhiasan itu lebih baik dan lebih sangat utama  bagi wanita-wanita muda, serta lebih jauh dari sebab-sebab fitnah.[300]
At Tuwaijiriy hafidzahullah berkata :  Dan mafhum ayat yang mulia ini adalah bahwa wanita yang masih menginginkan menikah yaitu yang masih memiliki sisa-sisa kecantikan dan syahwat terhadap laki-laki, dia itu tidak termasuk dalam jajaran qawa’id (wanita-wanita yang sudah putus asa dari ingin menikah), dan tidak boleh dia itu menanggalkan sedikitpun dari pakaiannya di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena laki-laki terfitnah dengannya dan dia (wanita) terfitnah dengan mereka (laki-laki) tidak bisa dijamin.[301]







































Hadits-Hadits Nabawiy Yang Berhubungan
Dengan Hukum Hijab

Saya telah mengumpulkannya dalam tiga bagian :
Bagian pertama   : Hadits-hadits yang darinya para ulama beristinbath akan wajibnya hijab  atas seluruh muslimat.
Bagian kedua       :  Hadits-hadits yang menjelaskan hijab para ummahatul mi’minin, dan diantaranya ada hadits-hadits yang diambil istinbath oleh sebagian ulama akan umum wajibnya  hijab atas seluruh wanita muslimah.
Bagian ketiga  :Hadits-hadits yang menjelaskan disyari’atkannya hijab yang sempurna atas seluruh wanita umat Muhammad, atau memberikan petunjuk akan tersebarnya ahal itu di kalangan wanita generasi pertama, atau memberikan penjelasan akan dilarangnya laki-laki dari memandang wanita lain, dan kami menjelaskan di dalamnya istinbath sebagian ulama dari sebagian hadits-hadits tersebut akan wajibnya hijab yang sempurna atas seluruh wanita muslimah.

Bagian Pertama

1.      Dari Ibnu Mas’ud t dari Nabi r bersabda :
اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ
Artinya: Wanita itu adalah aurat.[302]
Syaikh Hamud At Tuwaijiri hafidzahullah berkata : Dan hadits ini menyatakan bahwa seluruh bagian anggota badan wanita itu adalah aurat di hadapan laki-laki yang bukan mahram, sama saja dalam hal ini apakah wajahnya atau anggota badan lainnya, Abu Thalib telah menukil dari Imam Ahmad rahimahullah, bahwa beliau berkata : (Kuku wanita adalah aurat, maka bila dia keluar dari rumahnya janganlah menampakan sedikitpun dari badannya, tidak juga sepatunya, karena sepatu itu memperlihatkan bentuk telapak kakinya, dan saya lebih menyukai bila dia membuatkan kancing pada lengan bajunya pas di telapak tangannya agar tidak ada sesuatupun dari badannya yang nampak) …dan telah lalu apa yang dinukil Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dari imam Ahmad rahimahullah, bahwa beliau berkata : (Segala sesuatu dari badan wanita adalah aurat termasuk kukunya) Syaikhul Islam berkata : Dan ini juga adalah perkataan imam Malik..[303]
Dari Abu Al Ahwash  dari Abdullah t dari Nabi r berkata :

اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ وَأَقْرَبُ مَا تَكُوْنُ بِرَوْحَةِ رَبِّهَا وَهِيَ فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا
Artinya: Wanita itu adalah aurat, maka bila dia keluar (dari rumah) setanlah yang mengendalikannya, sedangkan keadaan dia yang paling dekat dengan rahmat Rabnya adalah  ketika dia berada di dalam rumahnya,”[304]

Asy Syinqithiy rahimahullah  berkata : Hadits ini telah disebutkan oleh penyusun kitab Az Zawaid, dan berkata : Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Al Kabir sedangkan para perawinya adalah tsiqat, dan hadits ini menjadi tambah kuat dengan dalil-dali yang telah kami sebutkan, dan dalil yang di dalamnya ada penjelasan bahwa wanita itu adalah aurat : Menunjukan atas hijab, karena konsekuensi wajibnya menutupi semua yang termasuk penamaan aurat, dan ini dikuatkan oleh Al Haitsami juga dalam Majma Az Zawa’id dari Ibnu Masud t berkata : Hanyasannya semua wanita itu adalah aurat, dan sesungguhnya seorang wanita keluar dari rumahnya dan tidak ada apa-apa padanya, maka setan mengendalikan/mengawasinyanya seraya berkata : Kamu tidak lewat kedepan seseorang kecuali engkau membuat dia terkagum-kagum, dan sesungguhnya seorang perempuan memakai baju, kemudian dikatakan : Mau kemana engkau ? Dia menjawab : Saya mau menengok orang yang sakit, atau ikut menyaksikan jenazah, atau shalat di mesjid, dan tidaklah seorang wanita beribadah kepada Rabnya sama seperti dia beribadah kepada-Nya di dalam rumahnya,” kemudian berkata : Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Al Kabir sedangkan para perawinya adalah tsiqat…..dan atsar ini dihukumi marfu’ karena tidak ada tempat untuk pendapat di dalamnya.[305]

2.      Dari Ibnu Umar t bahwa Nabi r bersabda :
لاَ تَنْتَقِبِ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقَفَّازَيْنِ
Artinya: Janganlah wanita yang sedang ihram mengenakan niqab (cadar) dan jangan pula dia mengenakan dua sarung tangan.[306]

Syaikh Abu Hisyam Abdullah Al Anshari berkata : hadits ini merupakan dalil terbaik yang menunjukan terjadinya perubahan dan perkembangan dalam hal pakaian wanita setelah turunnya (ayat) hijab dan perintah mengulurkan jilbab, dan bahwasannya niqab telah menjadi bagian dari pakaian wanita, sehingga mereka tidak keluar (dari rumah) kecuali dengan mengenakannya. Dan larangan wanita yang sedang berihram mengenakan niqab bukan artinya dia dilarang menutupi wajahnya,….namun maksudnya adalah dia jangan menjadikan niqab sebagai bagian pakaian (ihramnya), namun hendaklah dia menutupi wajahnya dengan bagian pakaian lainnya…[307].[308]
Al Qadhi Abu Bakar Ibnul ‘Arabi rahimahullah  berkata : Masalah keempat belas : Sabdanya dalam hadits Ibnu Umar,” Janganlah wanita yang sedang ihram mengenakan niqab (cadar),” itu karena menutup wajahnya dengan burqa’ (purdah, hampir sama dengan niqab, pent) adalah fardlu (wajib) kecuali di saat haji, maka (di saat haji/umrah, pent) dia hendaklah mengulurkan bagian dari kerudungnya kepada wajahnya dengan tidak menempelkannya, dan (hendaklah) dia berpaling dari laki-laki, dan laki-laki juga (hendaklah) berpaling darinya.[309]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah  berkata : Dan (hadits ini) merupakan salah satu yang menunjukan bahwa niqab dan sarung tangan adalah telah dikenal di kalangan wanita yang tidak sedang ihram, dan ini menuntut (mereka) untuk menutup wajah dan tangannya.[310]
Dan Syaikhul Islam berkata lagi : Dan status wajah wanita di saat ihram terdapat dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad dan yang lainnya, ada yang mengatakan : Sesungguhnya dia (wajah wanita di saat ihram) adalah seperti kepala laki-laki tidak boleh ditutup, dan ada yang mengatakan : Dia itu seperti badan laki-laki, maka tidak boleh ditutup dengan niqab dan burqa’ dan yang dibuat serupa itu yang seukurannya, dan inilah pendapat yang benar, karena Nabi r tidak melarang kecuali hanya dari (mengenakan) niqab dan kedua sarung tangan saja, dan mereka para wanita (sahabiyyat) mengulurkan kain untuk menutup wajahnya dari pandangan laki-laki tanpa meletakan sesuatu yang bisa menjauhkan kain itu dari wajahnya[311], maka diketahuilah bahwa badan wanita itu setatusnya seperti badan laki-laki, itu disebabkan karena wanita itu adalah aurat, maka dia bisa menutup wajah dan kedua tangannya,[312] namun bukan dengan kain yang dibuat seukuran dengan anggota badan itu, sebagaimana laki-laki tidak boleh memakai celana dan dia boleh memakai izar (sarung).[313]
Al ‘Allamah Al Muhaqqiq Ibnu Al Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah  berkata dalam Tahdzib As Sunan : [ Dan adapun larangan Nabi r dalam hadits Ibnu Umar t wanita mengenakan niqab dan dua kaus tangan, itu merupakan dalil yang menunjukan bahwa wajah wanita bersetatus sama dengan badan laki-laki, bukan seperti kepalanya, maka dia diharamkan mengenakan ketika ihram kain yang dibuat dan dijahit seukuran wajah seperti niqabburqa’, dan dia tidak haram menutupnya dengan mukena dan jilbab dan lain-lain, dan inilah pendapat yang paling benar dari dua pendapat yang ada, karena sesungguhnya Nabi r menyamakan antara wajahnya dan kedua tangannya, dan beliau melarangnya mengenakan kaos tangan dan niqab, dan sudah pada maklum bahwa dia tidak dilarang menutupi kedua tangannya, dan bahwa keduanya sama seperti badan laki-laki yang sedang ihram sehingga diharamkan mengenakan kain yang dijahit seukuran dengan tangannya, yaitu kaos tangan, maka begitu juga dia itu hanya haram ditutup dengan niqab dan yang sejenis dengannya, dan tidak ada satu huruppun dari Nabi r yang menyatakan haramnya wanita menutupi wajahnya ketika sedang ihram, kecuali hanya larangan mengenakan niqab, dan larangan ini sama seperti larangan mengenakan dua kaus tangan, status niqab atas wajah sama seperti status kedua kaus tangan atas tangan, dan ini sangat jelas bihamdillah[314].. Dan beliau berkata juga dalam I’lam Al Muwaqi’in masih dalam masalah hadits itu : ( Dan isteri-isteri beliau r merupakan ummat yang paling tahu akan masalah ini, dan sungguh mereka telah mengulurkan (kain) kepada wajah-wajahnya bila ada rombongan laki-laki yang berpapasan dengan mereka, dan bila mereka (laki-laki) itu sudah pada lewat maka mereka (isteri-isteri belia) membuka wajahnya – dan Waki’ telah meriwayatkan dari Syu’bah dari Yazid Ar Risyk dari Muadzah Al ‘Adawiyyah, beliau berkata : Saya bertanya kepada Aisyah radhiyallahu 'anha ,” Apa yang dipakai oleh wanita yang sedang ihram ? maka beliau berkata : Dia jangan memakai niqab, dan jangan memakai masker, dan dia (bisa) mengulurkan  (kain) kepada wajahnya[315]) kemudian Ibnu Al Qayyim rahimahullah  menuturkan pendapat orang yang melarang wanita yang sedang ihram dari menutupi wajahnya, dan beliau membantah mereka sampai beliau mengatakan : (Maka bagaimana mungkin wanita diharamkan menutupi wajah sedangkan Allah telah memerintahkannya agar dia mengulurkan bagian dari jilbabnya kepada seluruh tubuhnya, supaya dia tidak diketahui dan orang tidak tertarik dengan kecantikannya[316]) Dan Al Imam Ibnu Al Qayyim menuturkan juga dalam Badai’ul fawaid sebuah pertanyaan tentang masalah wanita membuka wajahnya di saat ihram dan jawaban dari Ibnu Uqail tentang hal itu, kemudian beliau mengomentarinya dengan bantahan, beliau berkata : Sebab adanya pertanyaan dan jawaban seperti ini adalah samarnya sebagian tuntunan Sunnah tentang hak wanita dalam ihram, maka sesungguhnya Nabi r tidak pernah mensyari’atkan bagi wanita untuk membuka wajahnya baik di saat ihram atau lainnya, namun dalil nash yang ada adalah larangan khusus mengenakan niqab saja, sebagaiman ada larangan mengenakan dua kaus tangan, dan larangan (bagi laki-laki, pent) mengenakan kemeja dan celana. Dan sudah maklum bahwa larangan beliau dari mengenakan pakaian-pakaian ini, bukan maksudnya bahwa dia (wanita) harus terbuka dan tidak menutupi badannya sama sekali, bahkan para ulama sudah ijma bahwa wanita yang sedang ihram boleh menutupi badannya dengan ghamis dan baju kurungnya, dan bahwa laki-laki boleh menutupi badannya dengan selendang dan menutupi bagian bawahnya dengan kain yang dijadikan sarung, padahal sumber larangan dari mengenakan niqab, dua kaus tangan, kemeja, dan celana itu adalah satu, dan bagaimana ditambahkan pada kandungan nash, terus dipahami darinya bahwa bahwa wanita disyari’atkan membuka wajahnya di hadapan halayak ramai ? nash, atau mafhum, atau dalil umum, atau kiyas, atau mashlahat mana yang menyatakan seperti ini ? bahkan yang benar sesungguhnya wajah wanita (ketika ihram) setatusnya sama seperti badan laki-laki, diharamkan menutupinya dengan pakaian yang dibuat khusus sesuai ukurannya seperti niqab dan burqa’, bahkan itu (maksudnya wajahnya) adalah sama seperti tangannya yang  haram ditutupi dengan pakaian yang dibuat khusus sesuai ukurannya seperti kaus tangan. Adapun menutupinya dengan lengan baju dan menutupi wajahnya dengan jubah, kudung dan pakaian luarnya, maka itu sama sekali tidak dilarang, dan orang yang mengatakan : Sesungguhnya wajahnya setatusnya sama dengan kepala laki-laki (yang sedang ihram),” maka sama sekali dia tidak memiliki dalam hal ini dalil nash atau dalil umum (sekalipun), dan tidak benar mengkiyaskannya pada setatus kepala laki-laki muhrim, karena Allah telah membedakan dalam banyak hal antara keduanya.

Dan perkataan yang mengatakan dari kalangan salaf : Sesungguhnya ihram wanita itu ada pada wajahnya, yang dimaksud adalah makna ini, yaitu dia (wanita) tidak wajib menjauhi dari mengenakan pakaian sebagaimana wajibnya atas laki-laki, akan tetapi dia (wanita) wajib menjauhi dari mengenakan niqab, jadi setatus wajahnya adalah sama seperti badan laki-laki muhrim, dan seandainya orang itu bermaksud dengan perkataannya itu bahwa wanita wajib membuka wajahnya (di saat ihram), maka perkataannya itu bukanlah hujjah, selama tidak ada dalil tsabit dari syari’at yang menunjukan bahwa yang dimaksud adalah wajibnya membuka wajah, dan kedua hal ini tidak pernah terjadi (karena tidak ada). Dan sungguh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,”Adalah kami dahulu bila rombongan laki-laki melewati kami, maka  masing-masing kami mengulurkan jilbabnya pada wajahnya,” dan tidak pernah salah seorang diantara mereka meletakan lidi di antara jilbab dan wajahnya[317]sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian fuqaha, dan hal ini tidak pernah dikenal sama sekali dari seorangpun dari kalangan wanita Shahabat, tidak pula dari Ummahatul Mukminin, baik amalan ataupun fatwa. Dan mustahil hal ini menjadi bagian dari syiar ihram, sedangkan tidak nampak dan dikenal di antara mereka yang padahal mereka itu mengetahui masalah yang khusus dan umum, dan barang siapa yang mementingkan sikap obyektif dan berjalan di atas jalan ilmu dan keadilan, maka dia bisa membedakan pendapat yang rajih (kuat) dari pendapat yang marjuh (tidak kuat), dan pendapat yang sakit dari pendapat yang benar. Wallahu Alam.[318]

Al Hafidh Ibnu Hajar telah menukil dalam Fathul Bari dari Ibnu Al Mundzir, bahwa beliau berkata : Semua berijma bahwa wanita yang sedang ihram boleh mengenakan pakaian berjahit dan memakai sepatu, dan dia juga menutup kepala dan rambutnya kecuali wajahnya, dia mengulurkan kain pada wajahnya untuk menghalanginya dari pandangan laki-laki lain, namun dia tidak boleh menutupinya, kecuali apa yang diriwayatkan dari Fathimah Bintu Al Mundzir, berkata : Kami menutupi wajah-wajah kami sedangkan kami sedang ihram bersama Asma Bintu Abi Bakar radliyallahu ‘anhuma, maksudnya neneknya,” berkata (Ibnu Al Mundzir) : Mungkin yang dimaksud dengan menutupi di sini adalah mengulurkan kain, sebagaimana dalam hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, berkata : Adalah kami bersama Rasulullah r, bila rombongan laki-laki lewat kami mengulurkan  (kain) pada wajah-wajah kami, sedangkan kami dalam keadaan ihram, dan bila mereka sudah lewat, maka kami mengangkatnya lagi,” [319]
Al ‘Allamah Ash Shan’aniy rahimahullah  berkata dalam Hasyiyahnya atas kitab Syarhul ‘Umdah setelah menuturkan hadits,”Wanita (muhrimah) jangan mengenakan niqab dan (jangan) mengenakan dua kaus tangan,” berkata : (Perkataannya : dengan wajah dan kedua telapak tangannya, Saya berkata : Tidak boleh dipakai kain yang dibuat dan dijahit (khusus) untuk wajah, seperti niqab, dan yang dibuat untuk tangan, seperti dua kaus tangan, bukan maksudnya dia tidak boleh menutup wajah dan kedua telapak tangannya seperti yang diduga (sebagian orang, pent), karena wajah dan kedua telapak tangan itu wajib ditutupi, namun bukan dengan niqab dan kaus tangan.)[320]

3.      Dari Ibnu Umar t berkata : Rasulullah r berkata :
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya: Barang siapa menggusur pakaiannya dengan sombong, maka Allah tidak akan memperhatikannya di hari kiamat.
Maka Ummu Salamah radhiyallahu 'anha berkata : Apa yang harus diperbuat oleh wanita dengan dzuyul (pakaian bawah) mereka ? Maka Rasulullah r berkata : Mereka ulurkan saja sejengkal (dari mata kaki, pent),”Ummu Salamah berkata lagi : Kalau segitu tentu telapak-telapak kakinya terbuka,” Rasulullah berkata : Ulurkan saja satu lengan, tidak boleh mereka menambahnya,”[321]

At Tirmidzi berkata : dan dalam hadits ini ada rukhshah bagi wanita untuk menggusur pakaiannya, karena itu adalah lebih tertutup baginya.
Al Baihaqi berkata : Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukan wajibnya menutupi kedua telapak kaki.
Dan dalam riwayat Imam Ahmad dari Ibnu Umar t bahwasannya Rasulullah r memberikan keringanan bagi wanita untuk mengulurkan satu jengkal, maka mereka berkata : Wahai Rasulullah, kalau segitu telapak kaki kami terbuka,” Maka Rasulullah r berkata,” Satu lengan, dan jangan mereka melebihinya,”[322]
Dalam riwayat Imam Ahmad lainnya dari Ibnu Umar t bahwa isteri-isteri Nabi r bertanya tentang dzail (ujung pakaian yang paling bawah), maka beliau berkata,” Jadikanlah sejengkal,” Mereka berkata : Sesungguhnya sejengkal sama sekali tidak menutupi aurat,” Maka Rasulullah r berkata,” Jadikanlah satu lengan,” maka wanita di antara mereka bila hendak membuat baju kurung, dia mengulurkan satu lengan untuk dijadikan sebagai dzail.[323]

At Tuwaijiri berkata : dan dalam hadits ini dan dua hadits sesudahnya terdapat dalil yang menunjukan bahwa wanita itu seluruh tubuhnya adalah aurat di hadapan laki-laki yang bukan mahram, oleh sebab itu tatkala Rasulullah r memberikan rukhshah bagi wanita dalam mengulurkan ujung bajunya satu jengkal, mereka (para wanita) berkata kepada beliau : Sesungguhnya sejengkal sama sekali tidak menutupi aurat,” dan aurat di sini adalah telapak kaki sebagaimana yang sangat nampak dalam riwayat-riwayat yang ada dari Ibnu Umar dan Ummu salamah y. Dan Nabi r telah mengakui pernyataan para wanita bahwa qadamain (dua telapak kaki)itu termasuk aurat, nah bila halnya seperti ini dalam masalah telapak kaki, maka bagaimana gerangan dengan anggota badan lain yang berada di atasnya, dan terutama wajahnya yang merupakan pusat kecantikan wanita ? dan yang merupakan sesuatu yang paling besar dalam menarik perhatian laki-laki, dan mereka berlomba-lomba mendapatkannya bila wajah itu cantik, dan sudah menjadi sesuatu yang diketahui umum bahwa cinta/asmara yang membuat orang tergila-gila bahkan sebagiannya mati terbunuh, itu tidak lain kecuali karena sebab memandang wajah-wajah yang cantik jelita, bukan sebab melihat telapak kaki dan jari-jemari dan tidak pula karena sebab perhiasan dan pakaian. Dan apabila telapak kaki wanita itu merupakan aurat yang wajib ditutupi, maka wajahnya lebih berhak untuk ditutupi. Wallahu Alam.[324]

Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin hafidhahullah  berkata : Hadits ini merupakan dalil wajibnya menutup telapak kaki wanita, dan itu merupakan sesuatu yang sudah maklum di kalangan wanita shahabat y, sedangkan telapak kaki lebih kecil fitnahnya dari pada wajah dan kedua telapak tangan tanpa diragukan lagi, maka memperingatkan (hukum) dengan sesuatu yang lebih rendah merupakan peringatan bagi sesuatu yang lebih tinggi dan lebih utama darinya akan hukum, sedangkan hikmah syari’at menolak pengwajiban menutupi sesuatu yang lebih rendah dan pembolehan membuka sesuatu yang lebih dasyat fitnahnya, karena sesungguhnya ini merupakan sesuatu yang saling bertentangan lagi mustahil atas hikmah dan syari’at Allah.[325]

4.      Dari Uqbah Ibnu ‘Amir Al Juhanniy t dari berkata :
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ
Artinya: janganlah sekali-kali kalian masuk menemui perempuan
Maka seorang laki-laki dari Anshar berkata : Wahai Rasulallah bagaimana pendapatmu tentang al hamwu (saudara/kerabat suami) ? maka Rasulullah berkata :
اَلْحَمْوُ الْمَوْتُ
Artinya: Al hamwu adalah kematian.[326]

Asy Syinqithi  rahimahullah  berkata : Hadits shahih ini secara terang nan jelas di dalamnya Nabi r mengungkapkan larangan yang sangat keras dari masuk menemui wanita, maka ini merupakan dalil yang sangat gamblang atas terlarangnya masuk menemui wanita dan meminta sesuatu kepadanya kecuali dari belakang tabir, karena orang yang meminta sesuatu darinya dengan bukan dari balik tabir berarti telah masuk menemuinya, sedangkan Nabi r telah menghati-hatikan/ memperingatkan dari masuk menemuinya, dan tatkala beliau ditanya oleh seorang laki-laki Anshar tentang al hamwu yaitu kerabat suami yang bukan mahram bagi isterinya, seperti saudaranya, keponakannya, pamannya, sepupunya, dan yang lainnya, maka beliau menjawab kepadanya : Al hamwu adalah kematian,” Beliau menamakan masuknya kerabat seorang laki-laki menemui isterinya yang padahal bukan mahramnya dengan nama kematian, dan tak ragu lagi ungkapan ini merupakan ungkapan puncak dalam rangka menghati-hatikan (tahdzir), karena kematian merupakan kejadian yang paling mengerikan yang menimpa manusia di dunia ini, seperti yang dikatakan oleh seorang penyair :
Dan kematian itu bencana terbesar
Yang pernah menimpa jibillah
Jibillah adalah makhluk, seperti dalam firman-Nya U : Dan bertaqwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan (aljibillatal awwalin) umat-umat yang dahulu,”[327]
Maka peringatan Nabi r dengan peringatan yang sangat keras dari masuk menemui wanita, serta pengungkapannya akan masuknya kerabat suami menemui isterinya dengan nama kematian, merupakan dalil nabawiyy yang jelas yang menunjukan bahwa firman-Nya U,”Maka mintalah kepada mereka dari balik tabir,” adalah umum mencakup seluruh wanita, seperti yang anda lihat, karena seandainya hukum tersebut khusus bagi isteri-isteri Nabi r tentu Nabi r tidak akan memperingatkan dari masuk menemui wanita dengan peringatan yang keras lagi umum.
Dan dhahir hadits adalah peringatan dari masuk menemui wanita meskipun tidak terjadi khalwat di antara mereka berdua, dan memang seperti itu. Masuk menemui wanita serta berkhalwat dengannya, keduanya masing-masing sangat diharamkan dengan sendirinya, sebagaimana yang telah kami kemukakan bahwa Imam Muslim rahimahullah  menyebutkan hadits ini dalam bab : Haramnya khalwat dengan wanita ajnabiyyah (bukan mahram) dan masuk menemuinya, maka ini menunjukan bahwa keduanya haram)..[328]

Dan Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari ketika menjelaskan hadits tersebut : إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ  dengan I’rab nashab sebagai tahdzir, dan itu merupakan peringatan bagi orang yang diajak bicara dari sesuatu yang dilarang agar dia menjauhinya, seperti dikatakan :إياكم والأسد (hati-hati terhadap singa), sedang إِيَّاكُمْ merupakan maf’ul bagi fi’il yang tersembunyi, taqdirnya :اتقوا (hati-hatilah).
Dan taqdir perkataan itu adalah : Jagalah diri kalian dari masuk menemui wanita, dan wanita menemui kalian. Dan terdapat dalam riwayat Ibnu Wahb dengan lafadh : لا تدخلوا على النساء (janganlah kalian masuk menemui wanita), dan secara langsung dan lebih terkandung adalah larangan melakukan khalwat dengannya).[329]..[330]

Syaikh Abdul Qadir As Sindiy berkata : Hadits ini di dalamnya ada dilalah yang sangat jelas yang menunjukan bahwa tidak boleh laki-laki ajnabiy masuk menemui wanita ajnabiyyah (bukan mahram), dan begitu juga kerabat suami seperti adik/kakaknya, pamannya dan yang lainnya. Dan di dalam riwayat shahih imam Muslim dari Abu Ath Thahir dari Ibnu Wahb, berkata : Saya mendengar Al Laits berkata : <<Al Hamwu adalah saudara (adik/kakak) suami dan kerabat-kerabat suami yang lainnya sepupu dan lain-lain>> dan dalam hadits itu ada kecaman yang sangat keras dan peringatan yang penting dari masuk menemui wanita- Al Imam Ibnu Al Atsir berkata dalam An Nihayah : Janganlah laki-laki berkhalwat dengan wanita ajnabiyyah, dan bila dikatakan dia itu hamwuha, ketahuilah hamwuha itu adalah kematian, alhamwu adalah kerabat-kerabat suami, sedang maknanya adalah : Sesungguhnya bila pendapatnya seperti itu tentang saudara suami dan yang serupa dengannya, sedangkan dia itu adalah kerabatnya, maka apa gerangan dengan orang asing ?Yaitu : Matilah, dan jangan melakukan itu, ungkapan ini sering dikatakan oleh orang arab, seperti Singa adalah kematian, penguasa adalah api, maksudnya bahwa berjumpa dengannya adalah seperti kematian dan api, artinya bahwa khalwatnya  saudara sepupu dengannya (wanita) lebih bahaya dari khalwatnya dengan laki-laki lain, karena mungkin saja si kerabat itu menampakan hal-hal yang baik terhadap si isteri, dan mendorongnya untuk melakukan hal-hal yang memberatkan suami, seperti meminta dicarikan sesuatu yang menyulitkan suami atau perlakuannya yang tidak baik atau yang lainnya..[331]

Saya berkata : Bila wajah dan kedua telapak tangan bukan termasuk aurat dan perhiasan, dan boleh membukanya di hadapan laki-laki lain, maka kenapa ada kecaman yang keras sekali dalam hadits-hadits shahih ini, dan kenapa terjadi pertentangan antara hadits-hadits itu, dan telah lalu saya katakan : bahwa hadits-hadits itu (maksudnya yang menunjukan kebolehan membuka wajah dan telapak tangan, pent) tidak shahih, maka tidak boleh dikatakan bahwa hadits-hadits itu bertentangan dengan hadits-hadits shahih ini yang di dalamnya terdapat kecaman keras dan pengharaman yang pasti (akan membuka wajah dan telapak tangan). Dan seandainya hadits-hadits dan atsar-atsar yang dijadikan dalih oleh sebagian orang untuk membuka wajah  dan dua telapak tangan itu isnadnya shahih, tentu itu di anggap syadz tidak mahfudh menurut pandangan ahli hadits, maka bagaimana kenyataannya ternyata haditz-hadits itu adalah dlaif lagi mungkar, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah sama sekali, maka tidak pantas setelah penukilan ini ada perkataan yang menyatakan bahwa wajah dan dua telapak tangan bukan bagian aurat dan perhiasan (zinah) dengan bersandar pada perkataan Ibnu Abbas t yang telah dijelaskan kedudukannya dari sisi sanad.[332]

Al Buthi berkata : Seandainya seluruh badan wanita itu bukan aurat di hadapan laki-laki yang bukan mahram, tentu Nabi r tidak akan memuthlakan begitu saja larangan dari masuk menemui wanita, karena larangan itu mencakup semua keadaan yang di lakoni oleh si wanita selama dia itu menampakan wajahnya sebagaimana yang biasa dia lakukan di dalam rumahnya, dan sungguh hukum itu sudah mencakup terhadap saudara suami seperti yang bisa kita lihat (dalam teks hadits), maka tidak boleh dia masuk menemui isteri saudaranya. Dan seandainya wajah itu bukan aurat tentu dikecualikan -untuk memudahkan bagi si kerabat suami- wanita itu menutupi seluruh badannya kecuali wajah dan dua telapak tangannya.[333]

5.      Dari Aisyah radhiyallahu 'anha berkata :
Sesungguhnya Aflah saudaranya Abu Al Qu’ais datang meminta izin untuk masuk menemuinya -sedang dia adalah pamannya dari susuan- setelah turun ayat hijab, maka beliau berkata : (Maka saya enggan untuk memberi izin dia masuk, tatkala Rasulullah r datang, saya menceritakan apa yang saya lakukan, maka beliau menyuruh saya agar mengizinkan dia masuk).[334]dan dalam satu riwayat (dia (Aflah) berkata kepadanya : Apakah engkau berihtijab dari saya, sedangkan saya adalah pamanmu ? ) dan dalam riwayat kalinya : (Maka saya berkata : Saya tidak mengizinkan dia sampai saya minta izin kepada Rasulullah r, karena saudara dia Abu Al Qu’ais bukanlah yang menyusui saya, namun yang menyusui saya adalah isteri Abu Al Qu’ais) dan dalam satu riwayat : (Sedangkan Abu Al Qu’ais adalah suami si wanita yang menyusui Aisyah)
Urwah berkata : dan berkenaan dengan hal itu Aisyah pernah berkata : Haramkanlah dari susuan (radla’ah) seperti apa yang diharamkan karena sebab nasab (keturunan).

Al Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam faidah-faidah hadits ini : Dan dalam hadits ini (ada dalil yang menunjukan) wajibnya seorang wanita berihtijab (menutupi diri) dari laki-laki yang bukan mahram.[335]
Bukti petunjuk di dalamnya sangat jelas sekali, yaitu bahwa Al Hafidz Ibnu Hajar menyatakan keumuman hukum (ayat) hijab kepada seluruh wanita.[336]

6.      Dari Az Zuhriy dari Nubhan maula (bekas budak) Ummu Salamah, dari Ummu salamah radhiyallahu 'anha, berkata : Rasulullah r berkata :

إِذَا كَانَ ِلإِحْدَاكُنَّ مُكَاتَبٌ وَكاَن َعِنْدَهُ مَا يُؤَدَّى فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ
Artinya: Bila salah seorang diantara kalian memiliki hamba mukatab[337], sedang dia (mukatab) itu memiliki bayaran (untuk menebus dirinya), maka hendaklah dia  itu berhijab darinya.[338]
Syaikh Muhammada Shalih Al Utsaimin rahimahullah  berkata : Sisi pengambilan dalil dari hadits ini –yaitu terhadap wajibnya hijab- adalah bahwasannya ini menuntut bolehnya sayyidah (tuan wanita) membuka wajahnya di hadapan budaknya selama masih dalam kepemilikannya, dan bila si budak itu sudah lepas dari kepemilikannya, maka dia wajib berhijab (menutupi wajahnya) darinya, karena si budak itu telah menjadi laki-laki ajnabiy (orang lain). Maka demikian itu menunjukan wajibnya wanita berhijab dari laki-laki ajnabiy.[339]

Ath Thahawi meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Syihab bahwa Nubhan maula Ummu Salamah memberitahukan kepadanya : Bahwasannya tatkala dia berjalan bersama Ummu Salamah isteri Nabi r  menuju Mekkah, sedang sisa pembayaran mukatabah yang harus dia tunaikan adalah 2000 Dirham, dia (Nubhan) berkata : Setiap kali saya masuk menemuinya dan melihatnya, maka beliau berkata sambil berjalan : Wahai Nubhan berapa lagi sisa tanggungan pembayaran cicilan mukatabahmu ? Saya berkata : Dua ribu Dirham lagi,” Beliau berkata : Itu sekarang ada engkau miliki ? Saya berkata : Ya,” beliau berkata : Sisa tanggungan pembayaran mukatabah itu serahkan saja kepada Muhammada Ibnu Abdillah Ibnu Umayyah, karena sesungguhnya saya sudah membantunya dengan uang itu dalam pernikahannya, dan semoga salam sejahtera dilimpahkan kepadamu,” kemudian beliau mengulurkan hijabnya dari (pandangan)ku, maka akupun menangis dan berkata  : Demi Allah saya tidak akan memberikannya kepadanya selama-lamanya,” belia berkata :  Wahai anakku, Demi Allah sesungguhnya engkau tidak akan melihatku selama-lamanya, karena Rasulullah r telah mewasiatkan kepada kami,” Bahwa bila hamba mukatab salah seorang di antara kalian memiliki (uang)pembayaran sesuai jumlah sisa tanggungan mukatabahnya, maka pasanglah tabir dari (pandangan)nya,” kemudian Ath Thahawi rahimahullah  berkata : Dan diantara hukum yang bisa di ambil dari hadits ini adalah beberapa hukum yang disamakan setatusnya antara isteri-isteri Nabi r dengan wanita lainnya….[340]

Dan dari Sulaiman Ibnu Yasar, beliau berkata : Saya meminta izin kepada Aisyah untuk masuk, maka beliau berkata : Siapa ini ? maka saya berkata : Sulaiman,” Beliau berkata : Berapa sisa pembayaran mukatabahmu ? dia berkata : Saya berkata : Sepuluh Uqiyyah,” Beliau berkata : Masuklah, karena engkau ini masih bersetatus hamba selama masih ada tanggungan satu Dirham.[341]


Bagian Kedua

Hijab Ummahatul Mu’minin

Ijma telah memutuskan atas wajibnya hijab yang sempurna bagi Ummahatul Mu’minin, dan ini sebagai realisasi perintah Allah U dalam ayat hijab, dan hadits-hadits pun telah menjelaskannya, dan inilah diantaranya :
1.      Dari Aisyah radhiyallahu 'anha dalam hadits Ifki (Peristiwa fitnah zina terhadap Aisyah), beliau berkata :
Dikala saya duduk ditempat singgah saya, tiba-tiba mata saya tak kuat menahan kantuk, sehingga saya ketiduran, sedangkan Shafwan Ibnu Al Mu’aththal As Sulamiy Adz Dzakwaniy berada di belakang pasukan, maka dia kemalaman di jalan, sehingga keesokan paginya dia telah berada dekat tempat saya singgah, dia melihat warna hitam orang yang sedang tidur, kemudian dia menghampiri saya, dan dia langsung mengenaliku di saat dia melihat saya, dan memang dia telah pernah melihat saya sebelum turun ayat hijab, maka saya langsung terbangun dengan  sebab ucapan istirja’nya[342] tatkala dia mengenaliku, maka saya menutupi wajahku dari pandangannya dengan jilbab saya…[343]

2.      Dan dari Ikrimah berkata : Saya mendengar Ibnu Abbas t berkata, sedang telah sampai kepada beliau kabar bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha berhijab (menutupi diri) dari Husain Ibnu Ali y…., maka Ibnu Abbas berkata : Sesungguhnya Husain memandang Aisyah itu adalah halal,” Dan dari Umar Ibnu Dinar dari Abu Ja’far, berkata : Adalah Hasan dan Husain tidak pernah memandang Ummahatul Mu’minin…maka Ibnu Abbas berkata : Sesungguhnya keduanya memandang mereka adalah halal.[344] [345]

3.      Dan dari Yazid Ibnu Babnus berkata : Saya dan teman saya pergi menemui Aisyah radhiyallahu 'anha, kemudian kami minta izin masuk menemuinya, maka beliau melemparkan bantalan kepada kami dan beliau menarik hijab untuk menutupi (dirinya), kemudian teman saya bertanya : Apa pendapat engkau tentang ‘Irak…


4.      Dan dari Abu Salamah Ibnu Abdirrahman, berkata : Saya berkata kepada Aisyah : Urwah[346] mengungguli kami hanya karena dia bisa masuk menemui engkau setiap dia mau,” beliau berkata : Dan kamu bila mau, maka duduklah dari balik tabir, kemudian bertanyalah kepadaku tentang apa yang engkau suka, karena kami tidak mendapatkan seorangpun sesudah Nabi r  yang lebih utama bagi kami dari bapakmu….[347]
Dan syahid (tempat dalil) dari atsar itu adalah perkataan Aisyah radhiyallahu 'anha ,” maka duduklah dari balik tabir,” sebagai realisasi firman-Nya U,” Maka mintalah kepada mereka dari balik tabir,”

5.      Dari Shafiyyah Bintu Syaibah, berkata : Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu 'anha telah mengabarkan kepada saya, beliau berkata : Saya berkata : Wahai Rasulullah ! Orang-orang pada pulang dengan telah melakukan dua ibadah (haji dan umrah), sedangkan saya pulang dengan satu ibadah saja (haji) ? Maka beliau menyuruh saudaraku Abdurrahman agar mengantar saya melakukan umrah dari Tan’im, dan dia membonceng saya di atas untanya di malam yang sangat panas, sehingga saya menyingkirkan kudung dari wajah saya, kemudian dia menyodorkan sesuatu dengan tangannya kepada saya, maka saya berkata : Apakah engkau melihat seseorang ?[348]

6.      Dari Ummu Sinan Al Aslamiyyah, berkata : Tatkala kami singgah di Madinah, kami tidak masuk sampai kami masuk bersama Shafiyyah ke rumahnya, dan wanita kaum Muhajirin dan Anshar, maka mereka masuk menemuinya, terus saya melihat empat dari isteri-isteri Nabi r dalam keadaan menutupi wajah mereka, Zainab Bintu Zahsy, Hafshah, Aisyah, dan Juwairiyyah…..[349]

7.      Dari Ummu Ma’bad Bintu Khulaif, berkata : Saya melihat Usman dan Abdurrahman pada kekhalifahan Umar menunaikan haji dengan menyertakan isteri-isteri Nabi r, saya melihat kain thayalisah hijau menutupi haudaj[350] mereka, dan haudaj-haudaj itu adalah pelindung dari pandangan manusia, Usman berjalan di depan mereka dengan mengendarai untanya, beliau berteriak bila ada orang yang berusaha mendekati mereka (isteri-isteri Nabi r) : Menjauhlah, menjauhlah kamu ! Dan Abdurrahman berada di belakang mereka, melakukan hal serupa, kemudian mereka singgah di suatu desa yang dekat dengan tempat tinggal saya, mereka menjauhkan diri dari manusia, sedang jamaah laki-laki telah menutupi tempat mereka (isteri-isteri Nabi r )dengan pepohonan dari setiap penjuru, kemudian saya masuk menemui mereka, dan mereka itu berjumlah delapan orang seluruhnya..[351]
Dan telah lalu atsar tentang pembuatan keranda buat Ummul Mu’minin Zainab radhiyallahu 'anha dan penutupan keranda itu dengan kain, serta penganggapan baik sunnah ini oleh Amirul Mu’minin Umar Ibnu Al Khathathab t.
8.      Dan dari Anas Ibnu Malik t : Sesungguhnya Ummu Sulaim telah membuat kue, dan dia mengirimkannya ke rumah Rasulullah r dalam rangka pernikahan Rasulullah dengan Zainab Binyu Zahsy radhiyallahu 'anha, kemudian Rasulullah r mengundang para sahabatnya, dan merekapun duduk sambil makan dan bercakap-cakap, sedangkan Rasulullah r duduk, dan isteri beliau memalingkan wajahnya ke arah dinding hingga mereka semua keluar.[352]

9.      Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, berkata : Saya melihat Nabi r menutupi saya dengan kain selendangnya, sedangkan saya menonton anak-anak Habsyah bermain di mesjid, hingga sayalah yang merasa bosan, kalian kira-kirakan saja (saya kala itu) seusia anak perempuan yang berusia dini yang masih suka akan permainan.[353]

10.  Al Imam At Tirmidzi berkata : Suwaiduna Abdullah Ibnu Yunus Ibnu Zaid telah memberi kabar kepada kami dari Ibnu Syihab, dari Nubhan maula Ummu Salamah, dia mengabarkan bahwa Ummu Salamah telah mengabarkan kepadanya : Bahwa beliau pernah duduk berada di samping Rasulullah r, dan di samping Ummu salamah ada Maimunah, kemudian tiba-tiba muncul Ibnu Ummi Maktum, dan itu terjadi setelah kami diperintah untuk berhijab, maka Rasulullah r berkata : Menutup dirilah kalian berdua darinya ! maka kami berkata : Wahai Rasulullah, bukankah dia itu buta tidak bisa melihat kami serta tidak mengenali kami ? maka Nabi r berkata : Apakah kalian berdua buta ? Bukankah kalian berdua melihatnya?[354]

11.  Dan dari Anas Ibnu Malik t dalam kisah pernikahan Nabi r dengan Shafiyyah radhiyallahu 'anha : Kaum muslimin berkata : (Apakah Shafiyyah itu) salah seorang Ummahatul Mu’minin atau termasuk hamba sahayanya ? maka mereka berkata : Bila beliau menghijabinya berarti dia termasuk Ummahatul Mu’minin, dan bila tidak menghijabinya berarti dia termasuk hamba sahayanya,”maka tatkala berangkat beliau menyediakan tempat bagi Shafiyyah di belakangnya, dan membentangkan tabir di antara dia dan oaring-orang.[355]

Dan dalam satu riwayat dari Anas Ibnu Malik t juga, berkata : Kemudian tatkala unta tunggangan didekatkan kepada Rasulullah r untuk kembali, maka Rasulullah r meletakan kakinya agar Shafiyyah menjadikan paha beliau sebagai pijakan, namun dia enggan dan malah meletakan lututnya di atas paha Nabi r dan Rasulullah r menutupinya kemudian memboncengnya di belakangnya, serta beliau menutupkan kain selendangnya di punggung dan wajah Shafiyyah, kemudian mengikatnya dari bawah kaki Shafiyyah, dan membawanya serta menjadikannya sebagai salah seorang isteri-isterinya.

Syaikh Abdul Aziz Ibnu Khalaf hafidhahullah berkata : Dan hadits ini merupakan sekian dalil yang menunjukan wajibnya juga, karena ini bersumber dari perbuatannya r  dengan tangannya yang mulia, maka ini adalah perbuatan yang sangat sempurna, beliau r menutupi seluruh tubuhnya (Shafiyyah), dan ini merupakan kebenaran yang wajib diikuti, sungguh merupakan tauladan yang baik sekali. Seandainya tidak ada dalil syari’ yang menunjukan kewajiban wanita menutupi wajah dan seluruh tubuhnya kecuali hadits yang shahih ini, tentu sudah cukup sebagai penentu kewajiban dan pengarah akan sifat yang sempurna.[356]
Syaikh Abu Hisyam Al Anshari berkata dalam rangka membantah orang yang berhujjah dengan kisah Shafiyyah ini atas khususnya hijab bagi Ummahatul Mu’minin Isteri Nabi r :
Saya berkata : Sesungguhnya kisah Shafiyyah ini tidak menunjukan sama sekali akan khususnya hijab bagi Isteri-isteri Nabi r, bahkan sebaliknya dari hal itu, justeru menunjukan umumnya hijab bagi mereka dan wanita kaum muslimin, karena konteks kisah sangat jelas sekali menerangkan bahwa para sahabat dalam keadaan ragu tentang kedudukan Shafiyyah, apakah dia itu budak atau wanita merdeka yang sudah dinikahi (Nabi r ) ?Dan sesungguhnya mereka meyakini dengan pasti bahwa bila Nabi r menghijabinya, berarti itu pertanda bahwa beliau sudah memerdekakannya dan menikahinya, sedangkan pemastian mereka ini tidak timbul kecuali karena mereka mengetahui bahwa hijab itu khusus bagi wanita -wanita merdeka saja, dan hijab itu merupakan pembeda yang paling besar antara wanita merdeka dengan budak. Apabila beliau menghijabinya maka sudah dipastikan bahwa dia itu merdeka, sedangkan wanita merdeka tidak boleh dijadikan sebagai surriyyah [357], berarti dia adalah salah satu dari Ummahatul Mu’minin. Para sahabat y, mereka hanya menjadikan hijab sebagai tanda akan kemerdekaan dan pernikahan, karena Shafiyyah sebelumnya adalah tawanan yang dijadikan budak. Ya, seandainya sebelumnya dia itu tergolong wanita mu’minah merdeka, kemudian mereka menjadikan hijab sebagai tanda bahwa dia itu tergolong Ummahatul Mu’minin, tentu dalam hal ini ada dalil yang menunjukan hijab itu khusus bagi Ummahatul Mu’minin. Adapun kalau tidak demikian halnya maka kenyataannya pun tidak seperti itu. Kemudian hendaklah diketahui bahwa kemerdekaan dan pernikahan itu bukan kekhususan Ummahatul Mu’minin, maka bagaimana mungkin hijab yang mereka (para sahabat) jadikan tanda akan kemerdekaan dan pernikahan itu khusus bagi mereka(Ummahatul Mu’minin ) ? kemudian kisah itu tidak menunjukan paling tidak bahwa Ummahatul Mu’minin itu berhijab, sedangkan keberadaan mereka berhijab itu tidak memestikan bahwa hijab tersebut khusus bagi mereka.[358]


Bagian Ketiga

1.      Dari Urwah dari Aisyah radhiyallahu 'anha, berkata : Semoga Allah merahmati para wanita muhajirat pertama, tatkala Allah U menurunkan ,” dan hendaklah mereka menutupkan kain kudungnya ke dada mereka,”mereka langsung merobek kain tebal milik mereka, kemudian berikhtimar[359] dengannya (mereka menutup wajah dengannya)[360]

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan hadits ini dari jalan Shafiyyah bintu Syaibah, beliau berkata : Di kala kami berada di samping Aisyah, beliau berkata : Maka kami menyebutkan wanita-wanita Quraisy dan keutamaan mereka, maka Aisyah radhiyallahu 'anha berkata : Sesungguhnya wanita Quraisy itu memiliki keutamaan, dan saya Demi Allah tidak pernah melihat wanita yang lebih utama dari wanita-wanita Anshar yang lebih cepat membenarkan Kitab Allah dan lebih sigap dalam mengimani wahyu yang diturunkan, sungguh telah diturunkan surat An Nur,” dan hendaklah mereka menutupkan kain kudungnya ke dada mereka,” maka kaum laki-laki pulang menuju mereka (isteri-isterinya), mereka membacakan kepadanya apa yang Allah turunkan kepada mereka dalam surat itu, seorang laki-laki membacakannya kepada isterinya, puterinya dan saudarinya serta kerabatnya, maka tidak ada seorang wanita pun dari mereka melainkan langsung bangkit mengambil kain tebal (miliknya), kemudian mereka beri’tijar dengannya sebagai realisasi pembenaran dan pengimanan terhadap apa yang Allah turunkan di dalam kitab-Nya, sehingga esok harinya mereka berada di belakang Rasulullah r dalam keadaan beri’tijar seolah – olah ada burung gagak di atas kepala mereka.[361]
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Aisyah, berkata : Semoga Allah merahmati wanita-wanita Anshar, tatkala turun Firman-Nya,”Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu…,”(Al Ahzab: 59) mereka langsung merobek kain muruth (tebal)yang mereka miliki kemudian mereka beri’tijar dengannya, dan melaksanakan shalat di belakang Rasululah r seolah-olah ada burung gagak di atas kepala mereka,”[362]sedangkan permisalan mereka seolah-olah seperti gagak tidak terjadi kecuali bila mereka menutupi wajahnya dengan kain sisa pakaiannya.[363]
Makna I’tijar adalah berikhtimar, Al Hafidh Ibnu Hajar berkata : perkataannya,” Mereka berikhtimar,” artinya mereka menutup wajahnya[364]. Dan penafsiran ikhtimar dengan menutup wajah adalah penafsiran yang shahih, sebagaimana rinciannya telah lewat[365] dijelaskan berdasarkan perbuatan-perbuatan mereka.

2.      Dari Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu 'anha, berkata : Adalah rombongan (laki-laki)  melewati kami, dan kami dalam keadaan berihram bersama Rasulullah r, bila mereka lewat dekat kami setiap wanita dari kami mengulurkan jilbabnya dari kepalanya ke wajahnya, dan ketika mereka sudah berlalu, maka kami membukanya.[366]
Dan kedua hadits ini[367]menerangkan dengan jelas bahwa hijab itu mencakup wajah, bahkan memberikan indikasi bahwa menutupi wajah itulah yang dimaksud dengan hijab, dan hadits akhir ini hukumnya umum mencakup seluruh wanita kaum mu’minin, karena yang dimaksud dengan dhamir jama’ mutakallim (kata ganti jamak bagi sipembicara :yaitu kami) bukanlah Ummahatul Mu’minin saja sebagaiman yang diklaim oleh orang yang mengklaim, dan bukti akan hal itu adalah : bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha, beliaulah yang meriwayatkan hadits ini, dan beliaulah yang pernah memfatwakan : bahwa wanita yang sedang dalam keadaan ihram, dia (harus) mengulurkan jilbab dari atas kepalanya ke wajahnya.

Imam Malik meriwayatkan dalam kitab Muwaththanya atsar yang memberikan faidah bahwa menutup wajah di saat ihram itu umum bagi semua wanita, bukan hanya pada zaman shahabat saja, akan tetapi dilakukan pada zaman sesudahnya pula, telah diriwayatkan dari Fathimah bintu Mundzi, berkata : Adalah kami menutup wajah kami sedangkan kami dalam keadaan ihram, dan kami saat itu bersama Asma Bintu Abi bakar Ash Shiddiq, maka belia tidak mengingkari kami.[368]
Makna umum inilah yang dipahami para ulama dari hadits Aisyah ini, berkata pengarang kitab Aunul Ma’bud tentang perkataan Aisyah,”Melewati kami,” yaitu terhadap kami sekalian wanita.[369]

Asy Syaukani berkata dalam Nailul Authar : Dan hadits ini dijadikan dalil bahwa wanita (ketika ihram) dibolehkan bila membutuhkan untuk menutupi wajahnya karena ada laki-laki yang lewat dekat darinya, dia mengulurkan pakaiannya dari atas kepala ke wajahnya, karena memang wanita memerlukan terhadap menutupi wajahnya, sehingga tidak haram baginya menutupinya secara muthlaq sebagaimana halnya aurat, namun bila ia mengulurkannya sebaiknya kain tersebut dijauhkan dari mengenai kulit wajahnya, begitulah yang dikatakan oleh pengikut madzhab Asy Syafii’ dan yang lainnya, namun dhahir hadits bertentangan dengan pendapat ini, karena pakaian yang diulurkan itu sangat tidak mungkin untuk tidak mengenai kulit, maka seandainya merenggangkan kain dari mengenai kulit itu merupakan syarat, tentu Nabi r sudah menjelaskannya..dan Ibnu Al Mundzir berkata : Para ulama sudah berijma bahwa wanita boleh memakai pakaian yang berjahit, sepatu khuf, dan dia juga bisa menutupi kepala dan wajahnya, dia ulurkan saja pakaiannya dengan penguluran yang tidak terlalu menempel, dengannya dia menutupi diri dari pandangan laki-laki..[370]
Maksud dari menukil perkataan Asy Syaukani dan Ibnu Al Mundzir adalah bahwa para ulama tidak memandang bahwa dhamir-dhamir (kata ganti) ini (maksudnya : Kami dalam hadits Aisyah) kembali kepada isteri-isteri Nabi r saja.[371]


3.      Dan dari Fathimah Bintu Al Mundzir dari Asma Bintu Abi Bakar t, berkata :
كُنَّا نُخَمِّرُ وُجُوْهَنَا مِنَ الرِّجَالِ وَكُنَّا نَمْتَشِطُ قَبْلَ ذَلِكَ فِي اْلإِحْرَامِ
Artinya: Adalah kami dahulu menutup wajah kami dari laki-laki, dan kami telah menyisir sebelumnya dalam ihram.[372]

4.      Dan dari Fathimah Bintu Al Mundzir rahimahallah, berkata :

كُنَّا نُخَمِّرُ وُجُوْهَنَا وَنَحْنُ مُحْرِمَاتٌ مَعَ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِيْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
Artinya: Adalah kami dahulu menutup wajah kami, sedangkan kami dalam keadaan ihram bersama Asma Binti Abu Bakar radliyallahu ‘anhuma.[373]

Dalam pengungkapan Asma radhiyallahu 'anha dengan bentuk jamak pada perkataannya,” Adalah kami dahulu menutup wajah kami dari laki-laki,” merupakan dalil bahwa pengamalan para wanita pada zaman sahabat y adalah bahwa mereka selalu menutupi wajahnya dari pandangan laki-laki yang bukan mahram (ajanib), Wallahu ‘Alam.
Adapun hadits Fathimah Bintu Al Mundzir, itu menunjukan bahwa menutup wajah sewaktu ihram (di kala ada laki-laki, pent) merupakan sesuatu yang sudah umum di kalangan para wanita, bukan pada zaman sahabat saja, namun pada zaman sesudah mereka juga.

5.      Dari Jabir Ibnu Abdillah t berkata : Rasulullah r bersabda :

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
Artinya: Bila seseorang di antara kalian meminang seorang wanita, terus dia mampu untuk melihat sesuatu yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah dia melakukannya.
Maka saya meminang seorang wanita, terus saya berusaha mengendap-ngendap untuk melihatnya, sehingga akhirnya saya berhasil melihat darinya apa yang mendorong saya untuk menukahinya.[374]

6.      Dan dari Muhammad Ibnu Maslamah t, berkata : saya telah melamar seorang wanita, maka saya mengendap-ngendap untuk melihatnya, sampai akhirnya saya bisa memandangnya di balik pohom kurma miliknya, “maka dikatakan kepadanya : Apakah engkau berani melakukan hal ini padahal engkau adalah salah seorang sahabat Rasulullah r ? Maka beliau berkata : saya mendengar Rasulullah r berkata :

إِذَا أَلْقَى اللهُ فِيْ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا

Artinya: Bila Allah memberikan keinginan di hati seseorang untuk melamar seorang wanita, maka tidak apa-apa dia melihatnya.[375]

7.      Dan dari Al Mughirah Ibnu Syu’bah t, berkata : Saya datang menemui Nabi r, kemudian saya menyebutkan kepada beliau seorang wanita yang telah saya pinang, maka beliau berkata : Pergilah, lihat wanita itu, karena perbuatan itu lebih membuat adanya keserasian di antara kalian berdua,”maka saya datang menuju seorang wanita Anshar, terus saya meminangnya lewat kedua orang tuanya, dan saya beritahukan kepada keduanya perkataan Nabi r, maka seolah-olah keduanya kurang suka hal itu,” Al Mughirah berkata (lagi) : Maka si wanita yang saya pinang itu mendengar pembicaraan itu, sedang dia berada di kamarnya, terus dia berkata : Bila Rasulullah r yang memerintahkanmu untuk melihat, maka silahkan lihat, namun kalau ternyata tidak, maka saya ingatkan engkau dengan keras (untuk pergi),”seolah-olah wanita itu menganggap besar masalah itu. Al Mughirah berkata : Maka saya melihatnya, kemudian saya menikahinya,” beliau menyebutkan persetujuan wanita itu.[376]

At Tuwaijiriy berkata : Dan dalam hadits ini dan dua hadits sebelumnya terdapat dalil atas disyariatkannya wanita berhijab/ menutupi diri dari laki-laki yang bukan mahram, oleh sebab itu orang-orang mengingkari terhadap perbuatan Muhammad Ibnu Maslamah tatkala beliau memberitahukan kepada mereka bahwa beliau mengendap-ngendap untuk melihat wanita pinangannya sampai beliau bisa melihatnya sedangkan si wanita tidak merasakannya(tidak tahu ada yang melihatnya), maka beliau memberitahukan kepada mereka bahwa Nabi r telah memberikan keringanan dalam hal ini.
Begitu juga Al Mughirah Ibnu Syu’bah t tatkala meminta untuk melihat wanita pinangannya, maka kedua orang tuanya tidak menyukai hal itu, dan si wanita pun  merasa kaget tercengang serta bersikap keras kepada Al Mughirah, kemudian dia (si wanita) mempersilahkannya untuk melihatnya sebagai bentuk ketaatan kepada perintah Rasulullah r.
Dan dalam hadits-hadits ini juga ada penjelasan tentang apa yang biasa dilakukan oleh wanita-wanita para sahabat y, dimana mereka sangat ketat dalam sikap menutupi diri dari pandangan laki-laki yang bukan mahram, dan karenanyalah Jabir dan Muhammad Ibnu Maslamah radliyallahu ‘anhuma tidak bisa memandang wanita pinangannya kecuali dengan cara mengedap-ngendap dan mencuri-curi saat lengah, dan begitu juga  Al Mughirah tidak bisa memandang wanita pinangannya kecuali setelah diizinkannya untuk memandang.[377]Dan begitulah makna ini dibuktikan dengan sabda Nabi r dalam hadits Jabir t,” terus dia mampu untuk melihat sesuatu yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah dia melakukannya.”

Syaikh Abu Hisyam Al Anshari berkata dalam rangka mengomentari hadits Al Mughirah Ibnu Syu’bah t : dan kejadian ini menunjukan juga bahwa wanita-wanita (salaf) selalu menutupi dirinya, sehingga laki-laki tidak bisa melihatnya kecuali dengan hilah dan sembunyi-sembunyi, atau bila mereka sendiri yang mempersilahkan untuk dilihat. Dan seandainya mereka itu keluar dengan wajah terbuka, kedua pipi nampak, mata bercelak, kedua telapak bersemir, maka laki-laki pasti tidak memerlukan untuk mengarungi kesulitan-kesulitan ini untuk melihat mereka…
Beliau juga berkata dalam rangka mengomentari perkataan Jabir t di akhir haditsnya,” Maka saya melamar wanita dari Bani Salamah, terus saya mengendap-ngendap di bawah karab (pelepah kurma) sehingga akhirnya saya bisa melihat darinya sebagian yang mendorong saya untuk menikahinya,”( Al Muhalla 11/220) : Dalam hadits ini ada dalil dari dua sisi :
Pertama : Bahwa sabdanya r,” Maka bila engkau mampu melihatnya…,” menunjukan bahwa memandang wanita itu tidaklah mudah, namun memerlukan hilah dan cara-cara khusus, dan seandainya kaum wanita itu keluar rumah dengan membuka wajah pada masa itu, tentu pensyaratan kemampuan untuk memandang mereka tidak bermakna.
Kedua : Apa yang dilakukan Jabir yaitu bersembunyi di bawah pelepah kurma merupakan dalil bahwa para wanita tidak pernah meninggalkan hijabnya, kecuali bila mereka mengetahui bahwa mereka aman dari pandangan laki-laki.
Dan beliau berkata dalam penjelasan hadits Muhammad Ibnu Maslamah t : Dan kejadian ini sama seperti kejadian kisah Jabir dalam hal menunjukan terhadap yang dituntut (yaitu masalah hijab), dengan ada tambahan dalil bahwa memandang wanita bukan mahram merupakan salah satu sebab kekagetan dan pengingkaran di kalangan awal umat ini (salaf).[378]

8.      Dan dari Musa Ibnu Yazid Al Anshariy dari Abu Humaid t, berkata Rasulullah r :
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهَا وَإِنْ كَانَتْ لاَتَعْلَمْ
Artinya: Bila seseorang di antara kalian meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa atasnya untuk melihatnya, bila tujuan melihatnya itu hanya untuk meminangnya meskipun dia (wanita) tidak mengetahui.[379]

Syaikh Abu Hisyam Al Anshari hafidhahullah berkata : Sesungguhnya diangkatnya dosa dari menampakan kecantikan dalam keadaan khusus ini untuk tujuan mashlahat khusus ini adalah merupakan dalil bahwa menampakan kecantikan dalam keadaan-keadaan lainnya adalah berdosa.
Sedangkan bukti yang menunjukan adanya perbedaan hukum di saat khithbah (melamar) dengan saat-saat yang lainnya adalah bahwa si pelamar dibolehkan memandang wanita yang dia lamar, bahkan itu justru dianjurkan atau disunahkan, padahal dia (si pelamar) diperintahkan untuk menundukan pandangan dari wanita-wanita lainnya, dan haram baginya memandang mereka kecuali pandangan yang pertama yang tidak disengaja. Dan orang-orang yang menguasai kaidah-kaidah syariat, mereka mengetahui dengan betul bahwa pembatasan pembolehan sesuatu, atau bolehnya, atau dirukhshahkannya di saat yang khusus merupakan dalil bahwa hukum asalnya adalah haram, sebagaimana sesuatu yang diharamkan karena sebagai sarana dan perantara, maka sesungguhnya hal itu dibolehkan untuk suatu keperluan dan mashlahat yang lebih dominan (Lihat Zadul Ma’ad 1/224) maka pembolehan menampakan kecantikan-yang dihitung oleh sebagian adalah membuka wajah- bagi si wanita pinangan merupakan dalil akan haramnya menampakan perhiasan itu di saat-saat lain.
Dan apa yang dijelaskan oleh para ahli fiqh dan ahli hadits menunjukan kepada apa yang kami telah katakan : karena sesungguhnya mereka semua membuat bab bagi hadits-hadits tentang khithbah dengan penamaan bab bolehnya memandang wanita yang dilamar dan bab-bab yang hampir serupa. Maka pembatasan mereka dalam hal memandang wanita yang dilamar dengan hukum boleh, ini mengisyaratkan bahwa memandang selain wanita yang dilamar adalah tidak boleh menurut mereka.[380]

Syaikh Muhammad Al Maqdisyy berkata dalam Al Mughni : Kami tidak mengetahui adanya perbedaan di kalangan ulama tentang bolehnya memandang wanita yang ingin dinikahinya…..,dan tidak apa-apa memandangnya baik dengan izinnya ataupun tidak ada izin darinya, karena Nabi r memerintahkan kita untuk memandangnya secara muthlaq..
Namun tidak boleh berkhalwat dengannya, karena dia itu masih haram, sedangkan tidak ada dalil syariat yang membolehkan selain memandang, maka tetaplah khalwat pada asal keharamannya, dan dikarenakan khalwat itu tidak bisa menjamin dari hal-hal yang diharamkan lainnya…., dan tidak boleh memandangnya dengan pandangan penuh hasrat, syahwat dan tujuan nista. Imam Ahmad berkata dalam riwayat Shalih : Boleh melihat wajahnya, namun bukan dengan cara menikmatinya, dan dia boleh mengulang-ulang memandanginya, dan memperhatikan kecantikannya, karena maksud (khithbah) tidak bisa tercapai kecuali dengan hal itu… [381]
Al Hijawi dan Al Futuhiy dan yang lainnya memberikan batasan akan kebolehan memandang wanita pinangan, yaitu bila menurut besar dugaannya bahwa si wanita mengabulkan keinginannya, Al Jira’iyy berkata : Bila besar dugaan si laki-laki bahwa ia itu akan ditolak maka tidak boleh memandangnya, seperti orang yang memandang wanita bangsawan yang ingin dia lamar, padahal dia sudah tahu bahwa dia tidak akan diterima.
Dan sebagaimana hadits-hadits yang disebutkan tadi itu telah menunjukan dengan manthuqnya akan kebolehan si laki-laki memandang wanita yang hendak dia nikahi, maka begitu juga hadits-hadits itu dengan mafhumnya telah menunjukan bahwa tidak boleh memandang wanita selain wanita itu, dan ini dijelaskan dalam perkataannya pada hadits Abu Humaid t dari Nabi r : bila tujuan melihatnya itu hanya untuk meminangnya,” maka itu menunjukan bahwa tidak boleh memandang wanita lain (ajnabiyyah) selain orang yang melamar.
Dan juga peniadaan dosa dari orang yang melamar bila ia memandang wanita yang dia lamarnya menunjukan bahwa tidak boleh memandang selain orang yang melamar, dan berarti bahwa dia berdosa di saat memandang wanita ajnabiyyah, Wallahu ‘Alam.
Al Bukhari rahimahullah telah mengeluarkan dalam kitab Al Jami’ seperti hadits Al Mughirah Ibnu Syu’bah t, beliau menetapkan sebuah bab dengan perkataannya : (Bab memandang wanita sebelum menikahinya) dan Al Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath : ( Jumhur ulama mengatakan tidak apa-apa si pelamar memandang wanita yang dia lamar, mereka berkata : Dan tidak boleh memandang pada selain wajah dan kedua telapak tangannya)[382]

As Sindiy berkata : Dan adapun mafhum  mukhalif (mafhum kebalikan) bagi hadits ini adalah sesungguhnya tidak boleh selain laki-laki yang melamar memandang kepada wanita tersebut, dan hal ini tidak bisa terlaksana kecuali bila wanita itu berhijab, dan adapun bila wanita itu membuka wajah dan kedua telapak tangannya maka tidak mafhum hadits ini tidak ada artinya, maka ini juga merupakan dalil tidak bolehnya membuka wajah dan kedua telapak tangan[383]
Dan konteks hadits Muhammad Ibnu maslamah yang di dalamnya ada sabda Nabi r :,” Bila Allah memberikan keinginan di hati seseorang untuk melamar seorang wanita, maka tidak apa-apa dia melihatnya,” izin ini dengan konteks seperti itu menunjukan haramnya memandang wajah dan kedua telapak tangan bagi selain orang yang melamar.

9.      Dari Abdullah Ibnu Masud t, Rasulullah r berkata :

لاَ تُبَاشِرِ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَتَنْعَتَهَا لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا
Artinya: Janganlah wanita bergumul dengan wanita, terus ia menceritakan (sifat-sifat tubuh) wanita itu kepada suaminya, seolah-olah suaminya itu melihatnya.[384]
Al Qasthalani rahimahullah berkata : Ath Thayyibi rahimahullah berkata : Yang dimaksud dengannya (bergumul) di hadits ini adalah memandang yang disertai sentuhan, dia memandang wajah dan kedua telapak tangannya, serta meraba bagian dalam badannya dengan sentuhan halus.[385]
Syaikh Hamud At Tuwaijiri hafidhahullah berkata : Dan dalam larangan beliau r wanita bergumul dengan wanita, terus ia menceritakan (sifat-sifat tubuh) wanita itu kepada suaminya, seolah-olah suaminya itu melihatnya merupakan dalil yang menunjukan pensyariatan ihtijab/menutupi diri wanita dari laki-laki yang bukan mahram, dan bahwasannya tidak tersisa bagi laki-laki cara untuk mengetahui wanita-wanita lain kecuali dengan cara (orang menceritakan kepadanya), atau mencuri-curi dan sebagainya, dan oleh karena itu beliau r berkata,” seolah-olah suaminya itu melihatnya,” maka ini menunjukan bahwa memandangnya laki-laki kepada wanita yang bukan mahram itu sangat sulit tercapai biasanya karena wanita-wanita itu menutupi dirinya dari pandangan mereka, sehingga seandainya sufur (membuka wajah) itu boleh, tentu kaum laki-laki memerlukan orang lain yang menceritakan kepada mereka sifat-sifat wanita yang bukan mahram itu, bahkan mereka merasa cukup dengan pandangan mereka langsung langsung kepadanya, seperti halnya yang sudah lazim di negara-negara yang tersebar di sana tabarruj (buka-bukaan/ bersolek untuk keluar) dan sufur (membuka wajah).[386]

10.  Dari Jarir Ibnu Abdillah t : saya bertanya kepada rasulullah r tentang pandangan yang tidak sengaja, maka beliau memerintahkan saya agar memalingkan pandangan.[387]

At Tuwaijiriy berkata : Dan diambil faidah dari hadits ini bahwa para wanita kaum mu’minin di zaman Rasulullah r, mereka itu selalu menutupi diri dari laki-laki yang bukan mahram, serta mereka itu menutupi wajah-wajahnya dari pandangan mereka, sedangkan yang terkadang terjadi hanyalah pandangan yang tiba-tiba tidak disengaja, dan juga seandainya mereka itu selalu membuka wajahnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya, tentu dalam perintah memalingkan pandangan itu terdapat kesulitan yang sangat besar, apalagi bila terdapat banyak wanita di sekeliling laki-laki, karena bila ia memalingkan pandangannya dari yang satu, maka mesti pandangannya itu jatuh kepada wanita lain. Adapun bila mereka itu menutupi wajahnya sebagaimana yang ditunjukan oleh dhahir hadits itu, maka tidak tersisa kesulitan bagi si laki-laki yang memandang untuk memalingkan pandangan, sebab pandangan itu hanyalah terjadi serentak tiba-tiba saja. Wallahu ‘Alam.[388]

11.  Dari Fathimah Bintu Qais radhiyallahu 'anha :Bahwa Abu Amr Ibnu Hafsh mencerainya dengan thalak Al Battah, dan dalam satu riwayat : Dengan talak tiga, sedang dia (Abu Amr) sedang tidak ada di tempat, kemudian dia (Fatimah) datang menemui Rasulullah r, dan terus menceritakan kejadian itu kepadanya, maka Rasulullah r menyuruhnya untuk ber’iddah di rumah Ummu Syuraik, terus beliau berkata : Wanita itu sering ditemui sahabat-sahabatku[389], maka ber’iddahlah di rumah Ibnu Ummi Maktum karena dia itu laki-laki buta yang dimana engkau bisa meletakan pakaianmu di sana,, Dan dalam satu riwayat,” pindahlah ke rumah Ummu Syuraik, sedang Ummu Syuraik itu adalah wanita kaya dari kalangan Anshar, sering berinfak yang banyak fi abilillah, orang-orang lemah sering singgah ke rumahnya, saya hawatir khimarmu jatuh dan pakaianmua tersingkap sehingga kedua betismu nampak, sehingga laki-laki bisa melihat darimu apa yang engkau tidak suka, namun pindahlah ke rumah sepupumu Abdullah Ibnu Ummi Maktum yang buta itu- dia itu satu suku dengannya-karena kamu bila meletakan khimarmu, dia tidak akan melihatnya,”maka ssaya pindah ke rumahnya, dan tatkala ‘iddah saya telah selesai, saya mendengar seruan : Ash Shalatu Jami’ah,” maka saya keluar menuju mesjid terus saya shalat di belakang Rasulullah r, tatkala beliau selesai dari shalatnya, beliau duduk di atas mimbar, terus berkata : Sesungguhnya saya –Demi Allah- tidak mengumpulkan kalian untuk suatu anjuran dan peringatan, namun saya mengumpulkan kalian karena Tamim Ad Dariy sebelumnya adalah orang nashraniy, dia telah datang dan membai’at serta masuk islam, dan dia memberitahuku suatu berita yang sesuai dengan apa yang pernah saya beritahukan kepada kalian tentang Al Masih Ad Dajjal….)[390]

Dan dalam sabdanya r,” karena kamu bila meletakan khimarmu, dia tidak akan melihatnya,” dan dalam satu riwayat,” saya hawatir khimarmu jatuh dan pakaianmua tersingkap sehingga kedua betismu nampak, sehingga laki-laki bisa melihat darimu apa yang engkau tidak suka,”merupakan dalil yang menunjukan bahwa wanita tidak boleh membuka wajahnya-apalagi yang lainnya- si hadapan laki-laki lain yang bisa melihat, itu dikarenakan bahwa khimar itu adalah umum bagi apa yang dinamakan kepala dan wajah secara bahasa dan syari’at[391], dan ini dibuktikan dengan apa yang telah kita paparkan sebelumnya dari perkataan Al Hafidh Ibnu Hajar tentang definisi Khamr: (Dan diantara kata yang diambil darinya adalah khimar, karena dia itu menutupi wajah wanita.).
Dan perkataan Al Qadl Abu Ali At Tanukhi dalam bait syair yang dinisbatkan kepadanya :
Katakan kepada si cantik jelita yang mengenakan khimar penutup wajah
,”Engkau telah merusak ibadah saudaraku yang bertaqwa
pancaran khimar dan cahaya pipimu di belakangnya
sungguh mengagumkan wajahmu ini, kenapa tidak terbakar
Dan hadits ini seharusnya dipahami dengan bercermin pada sabdanya r ,”Wanita itu aurat,”dan bila memandang wajah wanita itu lebih besar fitnahnya daripada melihat kepalanya, maka sungguh sangat jauh sekali syariat ini datang dengan mewajibkan menutup kepala dan membolehkan membuka wajah. Dan sabdanya r  ,’dia itu tidak bisa melihatmu,” adalah perkataan dhahir yang memaksud seluruh yang bisa nampak darinya, seperti wajah, kepala, dan leher, dan di dalam hadits ini tidak ada dalil yang menunjukan harusnya  menutup kepala tanpa wajahnya.

12.  Dari Aisyah radhiyallahu 'anha , berkata : Saudah keluar (rumah) setelah diwajibkannya hijab[392] untuk buang hajatnya, sedang beliau itu adalah wanita yang berbadan besar yang tidak samar bagi orang yang mengenalnya, maka Umar Ibnu Al Khaththab  melihatnya, terus berkata,”Wahai saudah, Demi Allah engkau ini tidak akan samar bagi kami, maka lihatlah bagaimana cara engkau keluar,”Aisyah berkata : Maka dia kembali pulang, sedangkan Rasulullah r  sedang makan malam di rumah saya dan di tangannya masih ada tulang yang dagingnya masih tersisa sedikit, dia masuk menemuinya, terus berkata : Wahai Rasulullah saya keluar untuk hajat saya, terus Umar mengatakan kepada aya ini dan itu,”Aisyah berkata : maka Allah mewahyukan kepadanya, terus wahyu selesai, sedangkan daging tadi masih ada di tangannya, kemudian belia berkata : Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian keluar untuk hajat-hajat kalian,”[393]

Syaikh Abu Hisyam Al Anshari hafidhahullah berkata : (Dan tuntutan ini adalah bahwa seandainya Saudah itu tidak berbadan tinggi tentu tidak akan dikenal orang-orang, dan Umar itu mengenalnya bukan karena dia itu membuka wajahnya, namun karena tinggi badannya dan gerak-geriknya yang berbeda dengan yang lain. Dan dalam hadits ini ada dalil yang menunjukan bahwa hijab itu bukan khusus bagi Ummahatul Mu’minin, alasannya adalah karena sesungguhnya konteks hadits menunjukan bahwa Umar tidak menginginkan syakhsh (sosok) Ummahatul Mu’minin itu diketahui, dan seandainya hijab itu khusus bagi mereka tentu itu merupakan petunjuk pertama yang mengenalkan mereka, dan merupakan pembeda paling pertama dan keadaan paling dominan yang membedakan mereka dari yang lainnya, serta tentu setiap orang akan mengenalinya, dan wajah mereka itu tentu dikenal dalam banyak kesempatan.[394]
Dan ketahuilah bahwa hadits ini secara menyendiri paling banter memberikan indikasi akan kebersamaan Ummahatul Mu’minin dengan wanita yang lainnya dalam pensyariatan hijab, dan ini sisi kesepakatan kita dengan para penentang, karena sesungguhnya hadits ini dijadikan dalil akan pensyariatan ini, adapun masalah wajibnya hijab maka tidak bisa diambil dari hadits ini secara menyendiri, namun dengan dalil-dalil terdahulu yang banyak yang menunjukan umumnya ayat hijab, dan tidak dikhususkan bagi Ummahatul Mu’minin saja, Wallahu “alam.

13.  dari Abdullah Ibnu Amr Ibnu Al Ash t berkata : Kami habis mengubur mayat bersama Rasulullah r, maka tatkala kami pulang dan berpinggiran dengan pintu rumahnya, tiba-tiba beliau mendapatkan seorang wanita yang kami kira beliau tidak mengenalnya, beliau terus bertanya,” Wahai Fathimah dari mana engkau ? Dia berkata : Saya habis dari rumah keluarga si mayyit, saya menenangkan mereka dan menghibur hatinya)…[395]
Sesungguhnya para sahabat y telah menduga bahwa Nabi r tidak mengenal wanita itu yang lewat di sampingnya, karena dia itu menutupi dirinya, namun beliau mengenalinya, dan berkata,” Wahai Fathimah ?,  sebagaimana beliau mengenali Aisyah ditengah tengah orang padahal dia itu menutupi wajahnya.[396] [397]



[1] Abu Shalih Al Mishri Abdullah Ibnu  Shalih, padanya ada kelemahan, At Taqrib 1/423.
[2] Dia adalah Ali Ibnu Abi Thalhah, yang diperbincangkan oleh sebagian para Imam, dia tidak pernah mendengar dari Ibnu Abbas, bahkan tidak pernah melihatnya, dan telah dikatakan bahwa diantara keduanya ada Mujahid, lihat dicatatan kaki tentang hal ini.
[3] Sanadnya hasan sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Abdul Qadir Habibullah As Sindiy, lihat Raf’ul Junnah Amama Jilbabil Mar’ah Al Muslimah Fil Kitab Was Sunnah Hal :138, Atsar ini mempunyai syahid yang kuat dengan sanad yang shahih dari Ubaidah As Salmaniy (pent). 
[4] Para perawi dalam sanad ini adalah bagaikan gunung dalam ketsiqahan dan hapalannya. Ibnu Jarir adalah Al Hafidh yang sangat terkenal ahli tafsir yang masyhur. Ya’qub adalah Ibnu Ibrahim Ad Dauqiy tsiqah. Ibnu Ulayyah adalah Ismail Ibnu Ulayyah seorang Imam besar lagi tsiqah. Ibnu Aun adalah Abdullah  Ibnu  Al Muzanniy seoarang alim yang tsiqah lagi kuat. Sedangkan Muhammada adalah Ibnu Sirin seorang ulama tabiin.Ubaidah adalah As salmani imam yang tsiqah lagi zuhud, seorang diantara tabiin besar mukhadlram yang tsiqah lagi kuat. Al Hafidh berkata dalam At Tahdzib : Syuraih Al Qadli bila mengalami kesulitan masalah, beliau bertanya dan meruju kepadanya 7/84, Al Imam Adz Dzahabiy berkata : Ubaidah Ibnu Amr As Salmaniy Al Muradiy Al Kufiy Al faqih Al ‘Alam, hampir menjadi sahabat, masuk islam di Yaman pada masa Futuh Mekkah, mengambil ilmu dari Ali, dan  Ibnu Masud y. Asy Sya’biy berkata : Beliau sejajar dengan Syuraih dalam keputusan. Al ‘Ajaliy berkata : Ubaidah adalah salah satu murid Ibnu Masud yang selalu mengajar dan memberikan fatwa kepada manusia. Ibnu Sirin berkata : Saya tidak pernah melihat orang yang lebih hati-hati dari Ubaidah, dan beliau itu banyak diambil ilmunya, lihat Tadzkiratul Huffadh1/50. dan bila sudah jelas bagi anda bahwa Ubaidah As Salmaniy itu termasuk kibar At Tabiin, dan beliau itu beriman pada zaman hidup nabi r , dan beliau itu inggah di Madinah pada zaman Umar Ibnu Al Khaththab t, dan terus di sana sampai meninggal dunia, tentu engkau mengetahui bahwa beliau itu menafsirkan dengan apa yang tersebar di masyarakat saat itu yang terwakili oleh para pemuka para sahabat y, tokoh-tokoh umat ini yang merupakan sumber acuan agama ini.
[5] Sanadnya shahih lihat Raf’ul Junnah :139.

[6] Ketahuilah bahwa (bertaqannu’ itu bermakna umunya adalah menutupi wajah, dan dengan penafsiran ini berarti riwayat ini selaras dengan riwayat sebelumnya, dan sudah pada maklum bahwa menggabungkan antara dua perkataan pada perkataan orang yang berakal adalah wajib bila masih bisa, dan bila salah satunya dibuang maka itu tidak boleh, dan suatu yang sangat mengherankan adalah bahwa Ibnu Jarir telah menukil perkataan Ibnu Abbas ini dalam konteks orang yang tidak berpendapat wajibnya menutup wajah, dan beliau tidak menengok kepada riwayat-riwayat yang menjelaskan makna taqannu’ dalam riwayat ini) dari perkataan Syaikh Abu Hisyam Al Anshariy- dinukil dari Majallah Al Jamiah As Salafiyyah.
[7] Jamiul Bayan ‘An Ta’wili Aayil Qur’an 22/45-47.
[8] Diriwayatkan dari hadits Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa Nabi r masuk menemuinya, maka maulah (bekas budak) milik orang –orang bersembunyi, Nabi r bertanya :  Dia itu sudah haidl (baligh) ?, orang-orang berkata : Ya, sudah, maka Nabi r menyobekkan  dari kain sorbannya bagi dia, terus berkata : Berikhtimarlah dengan ini,” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Abi Syaibah.
[9] Ahkam Al Qur’an 3/371-372.
[10] Ilkiya adalah kosa kata Persia artinya Orang besar yang terpandang di hadapan manusia, Dan Ilkiya Al Harras adalah Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ali, kunyahnya Abul hasan yang bergelar Imaduddin, lahir tahun 450 H, belajar fiqih terhadap Imam Al Haramain, dan ia adalah termasuk muridnya yang terpandang setelah Al Ghazali, dan diantara karangannya adalah  Syifaul Mustarsydin Fi Mabahitsil Mujtahidin, ini adalah termasuk buku masalah khilaf yang paling hebat, dan kitab dalam Ushul Fiqh, lihat biografinya dalam Thabaqat Asy Syafiiyyah 7/231—234, Al Bidayah Wan Nihayah 12/172, Sydzaratudz Dzahab 4/8, Wafayatul ‘Ayan 1/448, An Nujum Az Zahirah 5/201.
[11] Tafsir Ilkiya Al Harras Ath Thabari 4/354.
[12] Lubab At Ta’wil Fi Ma’ani At Tanzil 5/227.
[13] Beliau digelari ini karena pernah tinggal di Mekkah beberapa waktu, termasuk tokoh Mu’tazilah di zamannya, Bermadzhab Hanafiy,  di dalam tafsirnya Al Kasysyaf Az Zamakhsyari  telah menguak kemukjizatan Al Qur’an Al Qur’andari sisi Balaghahnya, dan beliau dengan indahnya mengungkap keindahannya, sampai pada akhirnya orang yang menulis tafsir seudahnya membutuhkan beliau dari sisi ini, namun beliau mendapatkan keritikan tajam dalam sisi usahanya ingin mencocokan ayat-ayat Al Qur’an sesuai dengan madzhab mu’tazilahnya, dan serangannya terhadap ahlus sunnah dengan kata-kata yang kasar, dan Ahlus Sunnah dibela oleh Syaikh Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Manshur Al Munayyir Al Iskandari Al Malikiy (Wafat 680H) dan beliau mengomentari kemu’tazilahanhnya dengan teliti dalam kitabnya Al Intishaf.
[14] Al Kasysyaf ‘An Haqa’iqi At Tanzil Wa ‘Uyun Al Aqawil Fi Wujuh At Ta’wil 3/274.
[15] Ahkam Al Qur’an 3/1585.
[16] Zadul Masir Fi ‘Ilmit Tafsir 6/422.
[17] Akan datang insya Allah penjelasan bahwa wajah itu bukan aurat yaitu di dalam shalat, bukan secara muthlaq, bahkan perintah menghijabi wajah pada ayat ini merupakan dalil bahwa wajah itu adalah aurat dalam masalah pandangan, lihat penjelasan nanti.
[18] Mafatihul Ghaib 6/591.
[19] Lihat Tafsir Ats Tsa’alibiy Al Malikiy (wafat 875 H) yang bernama Al Jawahir Al Hisan Fi Tafsiril Qur’an 3/237.
[20] Al Jami’ Li Ahkam al Qur’an 14/243.
[21] Anwar At Tanzil Wa Asrarut ta’wil 2/280.
[22] Berarti Mudlari’ di dalam ayat itu bermakna amr (perintah), sedangkan dhahir dari perintah adalah menunjukan kewajiban, bahkan sesungguhnya perintah bila datang dalam bentuk fiil mudlari’, maka penunjukannnya terhadap perintah sangat kuat sekali.
[23] Ibrahim : 31.
[24] Istinbath ini telah diingkari oleh Al Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah, dan beliau menukil larangan akan hal itu dari ulama salaf, lihat Fathul Bayan Fi Maqashidil Qur’an, karya beliau 7/413-414.
[25] ‘Inayatul Qadli Wa Kifayatu Ar Radli ‘Ala Tafsir Al Baidlawiy
[26] Dan apa yang dinukul oleh An Nasafi dalam tafsirnya ini menunjukan secara jelas bahwa wanita muslimah pada masyarakat-masyarakat islami selalu menutupi wajahnya, dan penguluran pakaian di saat terurai dari wajah wanita adalah sesuatu yang sudah terkenal dan merata di kalangan kaum muslimin, sehingga gambaran ini menjadi contoh yang harus ditiru).. Dari nukilan Syaikh Abdul Aziz Ibnu Khalaf, Nadharat Fi Hijabil Mar’ah Al Muslimah Lil Albaniy, catatan kaki 51.
[27] Madarik at Tanzil wa Haqa’qut Ta’wil 3/79.
[28] Tafsir Surat An Nur 86.
[29] An Nur : 30.
[30] Tasarri adalah si tuan menggauli budaknya, dan itu halal di dalam islam.
[31] Namun bila shalat di tempat yang di sana ada laki-laki bukan mahram melihatnya maka dia tetap harus menutup wajahnya, begitulah para ulama mengatakan di antaranya Ash Shan’aniy, Syaikh Utsaimin dan lain-lain.(pent)
[32] Al Qiyas Fi Asy Syari 69.
[33] Ash Sharim Al Masyhur 74.
[34] Dan Al Qurthubi menisbatkannya kepada Al Hasan (Al Jami’ Li  ahkam Al Qur’an 14/243).
[35] At Tashil Li Ulumit Tanzil 3/144
[36] Al Bahrul Muhith 7/250
[37] Jelaslah dari ini bahwa Al Imam Abu Hayyan rahimahullah berpendapat bahwa wanita budak dan wanita merdeka sama saja dalam hukum kewajiban hijab yang empurna yang mencakup wajah dan kedua telapak tangan, berdasarkan karena tidak adanya dalil yang membedakan antara keduanya dalam hukum, dan darinya jelaslah marjuhnya (lemahnya) pendapat fadlilatu Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Al Baniy hafidhahullah berupa istidlal beliau dengan perkataan Abu Hayyan : (Maka mengeluarkan mereka (budak) dari umumnya wanita memerlukan kepada dalil yang jelas) terhadap keabsahan madzhab beliau dalam menyamakan antara wanita merdeka dengan budak – bukan dalam wajibnya hijab yang sempurna seperti madzhab Abu Hayyan pemilik teks ini- namun dalam masalah kesamaan antara keduanya dalam sufur (membuka wajah).

[38] Tafsur Ayat An Nur : 56.
[39] Yaitu firman-Nya,”dan janganlah menampakan perhiasannya……..atau wanita-wanita islam atau budak-budak yang mereka miliki,” An Nur : 31, juga firman-Nya,”Tidak ada dosa atas isteri-isteri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka…..dan permpuan-perempuan yang beriman, dan hamba sahaya yang mereka miliki,” Al Ahzab : 55.
[40] Al Baqarah :226.
[41] Al Mujadilah : 2.
[42] Al Ahzab : 6.
[43] Al Ahzab : 53
[44] Majmu Al fatawa 15/448-449, dan dalam apa yang beliau sebutkan tadi ada bantahan terhadap anggapan jauh Al Allamah Al Albaniy atas pengkhususan firman-Nya,”isteri-isteri orang mu’min,” bagi wanita-wanita merdeka saja, tidak termasuk budak, sebagiamana yang tertera dalam Hijabul Mar’ah Al Muslimah 44-47, padahal beliau menshahihkan atsar Umar t yang membedakan antara budak dengan wanita merdeka sebagaimana yang akan datang insya Allah.
[45] Lihat Nashbu Ar Rayah karya Az Zailai’ 1/300-301, Al Muhalla Ibnu Hazm 3/218, Irwaul Ghalil Al Albaniy 6/203-204, mereka menshahihkan atsar –atsar ini yang membedakan antara hijab wanita merdeka dan budak.
[46] Riwayat Ali Ibnu Abi Thalhah dari Ibnu Abbas adalah munqathi, Al Hafidh Ibnu Hajar berkata : (Dia meriwayatkan dari Ibnu Abbas sedang dia itu tidak mendengar darinya, diantara keduanya ada  Mujahid), dan Duhaim berkata : (Dia tidak mendengar tafsir dari Ibnu Abbas), dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam jajaran orang yang tsiqat, dan berkata : (Dia meriwayatkan dari Ibnu Abbas sedang dia tidak pernah melihatnya)-(Dia mempunyai riwayat dalam Muslim satu hadits dalam masalah ‘Azl, dan dalam yang lain meriwayatkan baginya satu hadits dalam masalah Fara’idl)-Al Hafidh Ibnu Hajar berkata : ( Saya berkata : Al Bukhari menukil  dalam bab tafsirnya riwayat Muawiyah Ibnu Shalih darinya dari Ibnu Abbas dalam judul bab dan yang lainnya, namun beliau tidak menyebutkan namanya seraya berkata : Ibnu Abbas berkata, atau disebutkan dari Ibnu Abbas)….dan bisa dipahami dari shigat jazm (pasti) bahwa Al Imam Al Bukhari berihtijaj dengan riwayat ini yaitu riwayat Ali Ibnu Abi Thalhah dari Ibnu Abbas t dalam beberapa tempat dari kitab tafsirnya, beliau menuturkannya dengan cara mu’allaq meskipun tidak memenuhi syarat beliau dalam Al Jami’ Ash Shahih, dan Ibnu Hajar memaushulkannya dalam Fathul Bari, lihat Fathul Bari 8/207, 8/228, 8/265, dan lihat Tahdzib At Tahdzib 7/339-340.
Dan sanadnya hasan lihat Raf’ul Junnah (pent)
[47] Atsar ini disebutkan oleh As Sayuthi dalam Ad Durr Al Mantsur 5/221, dan berkata :Dikeluarkan oleh Al Faryabi dan Abdu Ibnu Humaid, Ibnu Al Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim dari Muhammad Ibnu Sirin.
 Isnadnya shahih, lihat Raf’ul Junnah (pent).
[48] Tafsir Al Qur’an Al Adhim 6/470.
[49] Qurratu al ‘Ain ‘Ala Tafsir Al Jalalain :560.
[50] ‘Aunul Ma’bud 4/106, Al Iklil di pinggir Jami’ Al Bayan 334.
[51] Artinya: Siraj Al Munir 3/271
[52] Ibid 3/372.
[53] Ir Syadul ‘Aqli As Salim Ila Mazaya Al Qur’an Al Karim 7/115.
[54] Kata yang diucapkan bagi sesuatu yang dianggap hina, seperti budak, gembel, orang dungu, seperti ucapan anda ; Ya Khissis,” dari Fathul bayan karya Shiddiq hasan Khan 7/415.
[55] Fathul Bayan 7/240.
[56] Fathul Qadir Al Jami’ baina Fannai Ar Riwayah Wad Dirayah Min ‘Ilmit Tafsir 4/304-305.
[57] Tafsir Al Mairghiniy 2/93.
[58] Dikeluarkan oleh Abu Dawud 2/182 dengan sanad yang shahih, dan dikeluarkan dalam Ad Durr 5/221 dari riwayat Abdur Razzaq dan Abd Ibnu Humaid, Abu Dawud, Ibnu Al Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih dari hadits Ummu Salamah radhiyallahu 'anha  dengan lafadh,” Karena pakaian-pakaian hitam yang mereka kenakan,” Ghirban adalah jamak dari ghurab, pakaian hitam diserupakan dengan gagak karena sama-sama hitamnya.
[59] Ruhul Ma’ani Fi Tafsiril Qur’an Al ‘Adhim Was Sab’il Matsani 22/88-90.
[60] Ruhul Ma’ani Fi Tafsiril Qur’anil Adhim Was Sab’il Matsani 22/88-90.
[61] At Taisir Fi Ulumi At Tafsir :91, dinukil dari  Majallah Al Jami’ah As Salafiyyah.
[62] Tabshirur Ar Rahman 2/164, nukilan dari Majallah Al Jami’ah As Salafiyyah.
[63] Tabshir Ar Rahman 2/164, dinukil dari  Majallah Al Jami’ah As Salafiyyah.

[64] Taisir Al Karimir Rahman Fi Tafsir Kalam Al Mannan 6/122.
[65] Nanti akan diuraikan pada pembahasan tafsir surat An Nur.
[66] Yang dimaksud tunduk di sini adalah berbicara dengan sikap yang menimbulkan keberanian orang bertindak yang tidak bauk terhadap mereka.
[67] Adlwa Al Bayan Fi Idlahil Qur’an Bil Qur’an 6/576.
[68] Abu Dawud 1833 kitab haji bab wanita yang sedang ihram menutupi wajahnya 2/167.
[69] Al Muwaththa’ bab Takhmirul muhrim wajhahu hal : 217 cetakan Syuab tanpa perkataannya,”beliau tidak mengingkari kami,”
[70] Fathul Bari kitab haji bab ma yalbisul muhrimu minatstsiyab 3/406 cet : As Salafiyyah.
[71] Al Hijab 302-303.
[72] Tafsir Surat Al Ahzab hal : 161-163, 165-167.
[73] Yaitu ayat 32 dan ayat 53.
[74] Fashlul Khithab Fil Mar’ah wal Hijab 38-39.
[75] At Tafsir Al Wadlih 22/27.
[76] Beliau mengomentari tempat ini : Seandainya tidak ada dalil syari’ yang melarang wanita dari menampakan wajahnya kecuali nash dari Allah U  ini, tentulah cukup sebagai hukum yang mewajibkan, karena wajah adalah tanda pengenal wanita dari sisi penunjukannya kepada  keperibadiannya, dan dari sisi mendatangkan fitnah, karena dia itu tidak sering nampak dan muncul, dan dengan menutupinya, maka hilanglah tujuan-tujuan terlarang itu. Allah U memerintahkan wanita agar menutupi egala sesuatu yang bisa mengenalkan dia dari badannya, sedangkan perintah ini adalah menunjukan kewajiban, dan tidak ada dalil yang memalingkannya dari yang wajib kepada sunnah atau pilihan…dari hamisy hal 48.
[77] Nadharat Fi Hijab Al Mar’ah Al Muslimah 48-49.
[78] Ibid.
[79] Bagaimana bisa benar klaim kekhususan itu, sedangkan Al Qur’an menyatakan dengan tegas dan gambling dalam surat An Nur terhadap kaum mu’minat seluruhnya dengan firman-Nya,” Dan katakan kepada wanita-wanita yang beriman,” dan dalam surat Al Ahzab,”dan isteri-isteri orang-orang yang beriman,” ?!
[80] Tabaqat Ibnu Sa’ad 8/176-177.
[81] Lihat Al Aghaniy, biografi Muqanna’ 17/60.
[82] Tarikh Al Ya’qubiy, cet Uruubah  2/315
[83] Tafsir Ibnu Katsir 5/516, Tafsir Surat An Nur Ibnu Taimiyyah 17, Al Muhalla 3/281.
[84] Fathul Bayan karya An Nuwwab Shiddiq Hasan Khan 7/316.
[85] Lihat Tafsir  Ibnu Katsir 5/87.
[86] At Tafsir Al Kabir 6/799
[87] Tafsir Ibnu Katsir 5/516.
[88] Tafsir Ibnu Katsir 5/516.
[89] Ruhul Ma’aniy karya Al Alusiy 22/83
[90] Zadul Masir Fi Ilmit Tafsir 6/422
[91] Fadlilatud Doktor Al Hilaliy – Rahimahullah - mengisyaratkan kepada penegasan banyak ulama terhadap dikeluarkannya wajah dan kedua telapak tangan dari batasan aurat.
[92] Itu karena lafadh bila mengandung lebih dari satu makna, maka kemungkina yang rajih diutamakan dari kemungkina yang marjuh : seperti Ta’sis, sesungguhnya dia (ta’sis itu) didahulukan terhadap ta’kid, contohnya firman-Nya U,”Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi dari jalan Allah,” kalimat,” menghalangi,” di sini mengandung kemungkinan dia itu lazim seperti firman-Nya,”niscaya kamu lihat orang-orang munafiq menghalangi dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu,” sehingga maknanya adalah kufur, maka dia itu menjadi penguat bagi kalimat,”orang-orang yang kafir,” dan ada kemungkinan muta’addi, sehingga makna firman-Nya,”orang-orang yang kafir,” menunjukan kekufuran dalam  dirinya sendiri, dan makna,” menghalangi,” adalah mereka membawa orang lain pada kekufuran dan menghalanginya dari kebenaran, maka berarti kemungkinan yang kedua adalah yang lebih kuat, karena ada makna ta’sis buat makna baru di sana, berbeda dengan kemungkinan yang pertama yang hanya sekedar penguat.
Contohnya lagi firman-Nya U ,”barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan,” bila kita bawa kehidupan yang baik  dalam ayat ini pada kehidupan dunia, maka itu adalah ta’sis, dan bila kita bawa kehidupan yang baik ini pada kehidupan surga maka itu terulang-ulang bersama firman-Nya,” dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan,” karena kehidupan baik di surga itu adalah pahala mereka yang dengannya mereka diberi pahala, Abu Hayyan berkata dalam Al Bahrul Muhith : ( Dan yang dhahir dari firman-Nya,” maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik,” bahwa itu di dunia, dan ini adalah pendapat jumhur, dan ini dibuktikan dengan firman-Nya,” dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan,” yaitu di akhirat.
Contoh lain juga firman-Nya,”Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?,” dan firman-Nya,”Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan,” ada yang mengatakan : Pengulangan lafadh dalam keduanya adalah ta’kid (penguat), dan statusnya sebagai ta’sis adalah yang lebih rajih sebagaiman yang telah kami sebutkan, maka nikmat-nikmat dalam setiap tempat dibawa pada apa yang disebutkan sebelum lafadh pendustaan itu, sehingga satupun lafadh dari nikmat-nikmat itu tidak diulang-ulang, dan begitu juga dikatakan dalam surat Al Mursalat, maka lafadh itu dibawa pada orang-orang yang mendustakan terhadap apa yang disebutkan sebelum setiap lafadh. Wallahu ‘Alam.
[93] Penggabungan ini bisa boleh hanya berdasarkan pada penerimaa jadaliy (sifatnya debat) terhadap kebenaran pendapat mereka bahwa ayat An Nur itu memberikan faidah bolehnya sufur, namun demikian sesungguhnya ayat itu –sesuai pemahaman para sahabiyyat radhiyallahu ‘anhunna – tidak memberikan faidah seperti itu sebagaimana yang akan datang nanti penjelasannya Insya Allah.
[94] Risalah Tabhatsu fi Masa’il As Sufur Walhijab ;6.
[95] Fathul Bariy 1/424.
[96] Lihat Al Muhalla 3/217
[97] Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an 14/243.
[98] Jami Al Ushul 6/152.
[99] Ma’aalimut Tanzil
[100] Tafsir Al Qur’anil Adhim 3/518
[101] Hijab Al Mar’ah Al Muslimah 38.
[102] Faidlul Bari 1/388.
[103] Taisir At Tafsir, Al ‘Asyru Ats Tsamin Minal Qur’an 46.
[104] Jadi jelasnya bahwa wanita muslimah memiliki tiga pakaian, diru’ (baju kurung) untuk menutupi badan dari leher sampai kaki, dan khimar (kerudung) untuk menutupi kepala, rambut dan bagian dada, serta ketiga adalah jilbab untuk menutupi atau sebagai rangkap baju kurung dan kerudung itu serta wajah, namun wajah bisa langsung ditutup dengan kerudung atau dengan kain lain seperti niqab dan burqa’. (pent)
[105] Fathul Bari 1/424.
[106] ‘Umdatul Qari 3/305.
[107] Faidlul Bari 1/388
[108] lihat Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an karya Al Qurthubi 12/310.
[109] Dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad 8/58, Al Albani berkata : Hadits ini mursal, dan dikeluarkan oleh Al Hakim 4/15, dan beliau menyebutkan syahid baginya dari hadits Anas, maka Insya Allah U  menjadi kuat ….(Hijab Al Mar’ah Al Muslimah 40)
[110] Hijab Al Mar’ah Al Muslimah  ….catatan kaki hal : 40.
[111] Jelaslah bahwa jilbab itu fungsinya untuk menutupi pakaian dalam yang berupa baju kurung dan kerudung, jadi wanita setelah memakai baju kurung dan kerudung ketika hendak keluar rumah atau ada laki-laki yang bukan mahram dia harus memakai jilbab sebagai pakaian rangkap sehingga pakaian yang dia kenakan tidak nampak bahkan tertutupi oleh jilbab itu, nah di sinilah kita bisa menilai bahwa masih banyak wanita muslimah yang sudah mampu menutupi seluruh tubuhnya namun belum sempurna dalam memakai jilbabnya (pent)
[112] Hijab Al Mar’ah Al Muslimah 39-40.
[113] Dukeluarkan oleh Adh Dhiya’ Al Maqdisi dalam Al Ahadits Al Mukhtarah 1/441, dan Imam Ahmad dalam Al Musnad 5/205, serta Ath Thabrani dalam Al Kabir 1/160.
[114] Hijabul Mar’ah Al Muslimah 60.
[115] Ini disebutkan oleh Ar Rafi’i dalam Syarhnya 4/92-105, dengan Syarh Al Muhadzdzab.
[116] Al Umm 1/78
[117] Dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad 8/48-49, dan isnadnya dishahihkan oleh Al Albani sesuai syarat  Muslim, lihat Al Hijab 62.
[118] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, dan sanadnya dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Hijab 62.
[119] Hijab Al Mar’ah Al Muslimah 61-62.
[120] Maksudnya firman-Nya Ta’ala,وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
[121] hijab Al Mar’ah Al Muslimah 40-42, dan nanti ada tambahan penjelasan dalam dalam ayat yang diebutkan tadi Insya Allah.
[122] Hadis shahih riwayat At Tirmidzi no :1173, lihat Raf’ul Junnah 15, Irwa’ul Ghalil no :273
[123] Al Umm1/77
[124] ‘Inayatul Qadhi 6/373, dan lihat Ruhul Ma’ani karya Al Alusi1 18/141.
[125] Minahul Jalil ‘Ala Mukhtashar Al ‘Allamah Khalil 1/133.
[126] Al Mughni 1/101.
[127] Badzlul Majhud Lihali Sunan Abi Dawud 4/301.
[128] Hijab Al mar’ah Al muslimah Wa libasuha Fishshalah : 6.
[129] Mathalib Uli An Nuha Fi Syarhi Ghayatil Muntaha 1/330.
[130] Al Inshaf Fi Ma’rifati Ar Rajih Minal Khilaf 1/452.
[131] Kasyful Qina’ ‘An Matnil ‘Iqna’ 1/243.
[132] Dinukil  darinya oleh At Tuwaijiri dalam  Ash Sharim Al Masyhur 72-73.
[133] Al Iqna’1/88.
[134] Al Iqna’ Fi Halli Alfadz Abi Syuja’ 185 Bab menutup aurat dan penjelasannya.
[135] Nailul Ma’arib Bisyarhi Dalil Ath Thalib 1/39.
[136] Al Qiyas Fi Asy syar’i Al Islami 69.
[137] As Siraj Al Munir 3/271.
[138] Mughni Al Muntaj Ila Ma’rifati Al Fadz Al Minhaj 3/129.
[139] Penjelasan dan nukilan-nukilan ini membuktikan bahwa apa yang dituturkan oleh pengarang kitab Kebebasan wanita (Yaitu Abdul Halim Abu Syuqqah) banyak tidak ilmiyyahnya dan justru banyak memotong perkataan para ulama dengan tujuan menyelaraskan dengan pendapat pengarang sendiri serta terlalu memaksakan kehendak yang tidak berlandaskan pada hujjah yang kuat, ini bisa dibuktikan jika pembaca sangat jeli dalam membacanya dan mau merujuk langsung kedalam kitab-kitab yang dijadikan rujukan pada umumnya, sunggu sangat disesalkan dan lebih menyayangkan adalah tindakan sebagian muqallidin terhadap kitab ini yang membabi buta seolah-olah kitab ini adalah satu-satunya dalam masalah ini, dan juga janganlah terkecoh dengan pujian terhadap kitab ini yang dilontarkan oleh pemberi komentarnya karena tidak ada artinya pujian orang yang banyak menolak hadits shahih karena bertentangan dengan akalnya (pent)
[140] ‘Inayatul Qadli Wa Kifayatur Radli 6/373.
[141] Ibid
[142] Subulus Salam 1/176.
[143] Tafsir surah An Nur 158.
[144] Majallatul Jami’ah As Salafiyyah, Dzul Qa’dah 1398 H hal : 69.
[145] At Tafsir Al Wadlih 18/66.
[146] Rawai’ul Bayan 2/378.
[147] Dengan penjelasan ini anda mengetahui perbedaan pakaian budak dengan wanita merdeka, dan anda juga mengetahui bahwa maksud ijma ulama akan bolehnya membuka wajah itu adalah di dalam shalat bukan dihadapan laki-laki yang bukan mahram, bahkan kalau ketika sedang shalat terus ada laki-laki yang bukan mahram memperhatikannya maka harus cepat menutup mukanya, dan justru ulama yang mengatakan wajah bukan aurat di dalam shalat mereka dengan gamblang menyatakan wajah harus ditutupi di kala ada laki-laki yang bukan mahram.
Ini adalah dalil pertama tentang hijab dari Al Qur’an berikut penafsiran para ahli tafsir dari kaum salaf dan ulama muta’akhkhirin. (pent)
[148] Jami’ Al Bayan 22/39.
[149] Ahkam Al Qur’an 3/369-370.
[150] Ahkam Al Qur’an 3/1578-1579.
[151] Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an 14/227.
[152] Tafsir Al Qur’an Al ‘Adhim 3/503.
[153] Madarikut Tanzil Wa Haqa’iqut Ta’wil.
[154] Ruhul bayan 7/215
[155] Fathul Qadir 4/298.
[156] Al Iklil Fis Tinbath At Tanzil 179.
[157] Adhwa Al Bayan 6/584.
[158] Dan diantara yang membenarkan kaidah ini adalah Al ‘Allamah Al Albani, dan beliau telah menukil banyak perkataan para ulama muhaqiqun yang menunjukan bahwa kaidah ini adalah haq, dan mesti darinya memberlakukan ayat hijab secara umum berbeda dengan madzhab beliau, lihat Tamamul Minnah 41-42.
[159] Adhwa Al Bayan 6/581-589.
[160] Ibid 6/592.
[161] Shafwatul Bayan Li Ma’anil Qur’an 2/190.
[162] Fiqhu An Nadzri Fil Islam 40-43.
[163] Ibid.
[164] Al Ahzab : 33.
[165] Rujukan sebelumnya.
[166] Al Mar’ah Al Muslimah 197-198.
[167] Maksudnya adalah hadits berikut ini :
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّيْنَ الصَّلاَةَ مَعِيْ . وَصَلاَتُكِ فِيْ بَيْتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ ِفيْ حُجْرَتِكِ . وَصَلاَتُكِ فِيْ حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِيْ دَارِكِ . وَصَلاَتُكِ فِيْ دَارِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِيْ مَسْجِدِ قَوْمِكِ . وَصَلاَتُكِ فِيْ مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِيْ مَسْجِدِيْ
Artinya : Saya sudah mengetahui bahwa engkau senang melakukan shalat bersamaku, namun shalat kamu di kamar tempat tidurmu lebih baik dari shalat yang kamu lakukan di dalam kamarmu, dan shalat kamu di dalam kamarmu itu lebih baik dari shalat kamu di ruangan tengah rumahmu, dan shalat  kamu di ruangan tengah rumahmu lebih baik dari shalat kamu di masjid kaummu, dan shalat yang kamu lakukan di mesjid kaummu lebih baik dari shalat yang kamu lakukan dimesjidku (hadits hasan) pent.
[168] Syaikh Symsuddin Ar Ramliy Yang masyhur disebut dengan Asy Syafii Ahmad sugandi Shaghir- rahimahullah- dalam kitabnya Nihayatul Minhaj ilaa Syarhil Minhaj : Dan apa yang dinukil oleh Al Imam berupa kesepakatan atas terlarangnya wanita- yaitu larangan penguasa terhadap wanita keluar dengan membuka wajah- bertentangan dengan apa yang dihikayatkan oleh Al Qadli Iyadl dari para ulama, yaitu bahwa tidak wajib atas wanita menutupi wajahnya di waktu dia berjalan, namun hal itu sunnah saja, dan kewajiban laki-laki adalah menundukan pandangan dari mereka berdasarkan ayat itu, dan ini dihikayatkan oleh penyusun – yaitu An Nawawiy rahimahullah- dalam Syarah Muslim, dan beliau mengakuinya.
Dan klaim sebagian orang tidak adanya ta’arudl (pertentang) dalam hal ini { karena larangan terhadap mereka itu bukan karena dzat menutupi wajah itu wajib atasnya, namun karena dalam hal ini ada mashlahat umum, dan dalam meninggalkannya menyebabkan tercorengnya muru’ah (kehormatan) }adalah tertolak, karena dhahir perkataan keduanya adalah bahwa menutupinya itu wajib dengan sendirinya, maka penggabungan ini tidak bisa terlaksana, sedangkan perkataan Al Qadli adalah lemah, karena dikatakan kepada yang boleh : Dibenci, dan dikatakan pula : Bertentangan dengan yang lebih utama, dan dikatakan dengan keharaman- dan ini yang rajih- haram memandang kepada wanita yang memakai penutup wajah yang tidak nampak darinya selain kedua mata dan kelopaknya, sebagaimana yang dibahas oleh Al Adzra’I, apalagi bila dia itu cantik, sungguh banyak tusukan (yang jatuh ke hati) dalam kelopak mata itu….6/187.
Padahal al hafidh Ibnu hajar rahimahullah telah menukil dari Al Qadli Iyadl suatu pernyataan yang memberikan isyarat bahwa beliau berdalil dengan ayat penguluran terhadap hijab seluruh badan, Al Hafidh rahimahullah berkata dalam penjelasan hadits Al Khats’amiyyah : ( dan dalam hadits ini ada larangan memandang kepada wanita-wanita ajnabiyyat, dan (wajibnya) menundukan pandangan, Iyadh berkata : {Dan sebagian mengklaim bahwa hal itu tidak wajib kecuali bila khawatir fitnah} beliau berkata : { Dan menurut saya bahwa perlakuan Nabi r di saat memalingkan wajah Fadll lebih besar (penununjukannya akan wajib) dari sekedar perkataankemudia belia berkata :{ Mungkin  fadll tidak memandang dengan pandangan yang perlu diingkari, namun dikhawatirkan sampai ke sana, atau mengkin hal itu terjadi sebelum turun ayat perintah mengulurkan jilbab} dari fathul Bari 4/70
[169] Al Hafidh rahimahullah berkata : ( Dan di dalam hadits ini ada banyak faidah : Disyariatkannya hijab terhadap Ummahatul Mu’minin, Iyadl berkata : { Kefardluan hijab adalah diantara kekhususan mereka dengannya, maka hijab ini adalah fardlu atas mereka tanpa ada perbedaan dalam masalah wajah dan kedua telapak tangan, maka tidak boleh bagi mereka membuka hal itu baik dalam persaksian ataupun yang lainnya, dan tidak boleh pula menampakan sosok mereka- meskipun mereka itu tertutup- kecuali bila ada dlarurat yang mendesak seperti untuk buang air} kemudian beliau berdalil dengan atsar yang ada dalam Al Muwaththa’ bahwa Hafshah tatkala umar meninggal dunia, beliau (Hafshah) ditutupi oleh para wanita supaya tidak kelihatan sososknya, dan bahwa Zainab Bintu Jahsy dijadikan baginya  qubbah di atas kerandanya untuk menutupi sosoknya}..dan dalam apa yang beliau tuturkan tidak ada dalil terhadap apa yang beliau klaim yaitu wajibnya hal itu (menutupi sosoknya) atas mereka, dan sungguh mereka itu setelah wafat Nabi r mereka berhijab dan mereka thawaf, dan para sahabat dan orang-orang setelah mereka mendengar hadits dari  mereka, sedang mereka itu menutupi badannya bukan sosoknya, dan telah lalu dalam masalah haji perkataan Ibnu Juraij kepada ‘Atha tatkala disebutkan kepada beliau thawafnya Aisyah : Apakah setelah hijab atau sebelumnya ? Beliau menjawab : Aku mendapatkan hal itu setelah hijab},,,dan Al Hafidh berkata  juga : ( Wal hasil bahwa Umar t merasakan ketidaksukaan di dalam hatinya akan adanya laki-laki ajanib melihat isteri-isteri Nabi, hingga belaiu mengatakan dengan lantang kepada Nabi r ,” Tutupilah isteri-isteri engkau ,” dan dan beliau menekankannya terus sampai akhirnya turun ayat hijab, kemudian beliau bermaksud setelah itu agar mereka (isteri-isteri Nabi) tidak menampakkan sosok-sosoknya, meskipun mereka itu tertutup, beliau terus mengharap, namun beliau dilarang dari maksudnya ini, dan mereka diizinkan (oleh Nabi r ) untk keluar untuk hajat mereka demi menjaga dari kesulitan, dan menghindari kesusahan) dari fathul Bari 8/30-531, dan lihat teks hadits yang diisyaratkan itu dalam Fathul bari 8/528 no : 4795.
[170] Majallatul Jami’ah As Salafiyyah, Mei, Juni 1978.
[171] Nadzarat Fi Kitab Hijabil Mar’ah Al Muslimah, hamisy 92-93.
[172] Taisiirul Wahyain 1/144-145.
[173] Fashlul Khithab Fil Mar’ah Wal Hijab 34-35.
[174] Yaitu dari Hudaibiyyah, bukan kedatangan beliau hijrah dari Mekkah seperti yang dipahami selintas, ini dijelaskan Syaikh dalam hasyiyah 26.
[175] Dikeluarkan oleh Ahmad dalam Al Musnad 6/408-409, Al Baihaqi 3/184, Adl Dliyaa Al Maqdisi dalam Al Mukhtarah 1/104-105. dan sanadnya dihasankan oleh Adz Dzahabi dalam Mukhtashar Al Baihaqi 2/133. dari hamisy Hijabul Mar’ah Al Muslimah 26 mukhtasharan.
[176] Hijabul Mar’ah Al Muslimah, Hamisy 25-26.
[177] Ini adalah dalil kedua yang di terjemahkan dari kitab ‘Audatul Hijab, selanjutnya dalil ke tiga(pent).


[178] Tafsir Ath Thabari 22/4.
[179] Ahkam al Qur’an 3/359-360.
[180] Namun dishahihkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/74, dan lihat Shahihul Jami’ Ash Shaghir 6/77 hadits no :6775
[181] ahkam Al Qur’an 3/1535-1537.
[182] Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an 14/179-180.
[183] Lihat kritik Al Albaniy terhadap istilah Jahiliyyah abad dua puluh dalam buku Hayatu Al Albaniy Wa Atsaruhu Wa Tsanaaul Ulama ‘alaihi karya Ustadz Muhammad Ibrahim Asy Syaibaniy 1/391-394.
[184] Al Jami Li Ajkamil Qur’an 14/180.
[185] Ibid 4/243.
[186] Al Bahrul Muhith 7/230
[187] Fathul Bari 8/490.
[188] Al Bahrul Muhith 7/250
[189] Faidhul Bari 1/254.
[190] Ibid
[191] Ruhul Bayan 7/170.
[192] Al Mufradat hal : 54.
[193] Fathul Qadir 4/278.
[194] Hadits Shahih.
[195] Ruhul Ma’ani 22/6.
[196] Tafsir Al Maraghi 22/6.
[197] Al Hijab hal : 313.
[198] Shafwatul Bayan Li Ma’anil Qur’an 2/183.
[199] Risalah Fil Hijab Was Sufur 13-14.
[200] Fashlul Khithab Fil Mar’ah Wal hijab 35-38.
[201] Nadzarat Fi Hijabil Mar’ah Al Muslimah 94-95.
[202] ‘Idadul Mar’ah Al Muslimah  hal : 59.
[203] Fiqhun Nadhri Fil Islam hal : 188.
[204] Inilah ayat ketiga yang merupakan dalil ketiga atas wajibnya hijab beserta beberapa uraian para ulama,ada banyak hadits yang menganjurkan agar wanita tetap tinggal di rumah, diantaranya sebuah atsar yang bersumber dari seorang shahabiyyah Ummu Humaid As Sa’idiy, dia datang kepada Rasulullah r terus berkata : wahai Rasulullah sesungguhnya saya menginginkan shalat bersamamu,” maka Rasulullah r berkata :
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّيْنَ الصَّلاَةَ مَعِيْ . وَصَلاَتُكِ فِيْ بَيْتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ ِفيْ حُجْرَتِكِ . وَصَلاَتُكِ فِيْ حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِيْ دَارِكِ . وَصَلاَتُكِ فِيْ دَارِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِيْ مَسْجِدِ قَوْمِكِ . وَصَلاَتُكِ فِيْ مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِيْ مَسْجِدِيْ
Artinya : Saya sudah mengetahui bahwa engkau senang melakukan shalat bersamaku, namun shalat kamu di kamar tempat tidurmu lebih baik dari shalat yang kamu lakukan di dalam kamarmu, dan shalat kamu di dalam kamarmu itu lebih baik dari shalat kamu di ruangan tengah rumahmu, dan shalat  kamu di ruangan tengah rumahmu lebih baik dari shalat kamu di masjid kaummu, dan shalat yang kamu lakukan di mesjid kaummu lebih baik dari shalat yang kamu lakukan dimesjidku(HR Ahmad dalam Al Musnad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dalam Shahihnya, Al Hafidz ibnu Hajar mengatakan bahwa Hadits ini Hasan).

Bahkan ada sabdanya yang sangat tegas :
ثَلاَثَةٌ لاَ تُسْأَلْ عَنْهُمْ : وَذَكَرَ مِنْهُمْ : وَامْرَأَةٌ غَابَ عَنْهَا زَوْجُهَا وَقَدْ كَفَاهَا مُؤْنَةَ الدُّنْيَا فَتَبَرَّجَتْ بَعْدَهُ
Artinya :Tiga orang yang jangan ditanya tentang (adzab yang akan menimpa) mereka  : dan beliau menyebutkan diantaranya : wanita yang ditinggal pergi suaminya sedang suaminya telah mencukupi kebutuhan dunianya terus dia (wanita) keluar dari rumahnya.( HR Ahmad dan Al Hakim dalam al Mustadrak dengan sanad shahih sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim dan Adz Dzahabi menyetujuinya, Al Bukhari dalam Al Adab Al Mufrid, Abu Ya’la, Ath Thabrani dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Rasulullah r mengatakan seperti ini karena beliau menginginkan agar wanita tetap dalam keadaan tertutup sehingga tidak menjadi fitnah dan tidak terfitnah, oleh sebab itu wanita hanya boleh melakukan shalat wajib berjamaah di mesjid hanya pada shalat yang dilakukan di malam hari saja agar tidak kelihatan oleh laki-laki, beliau bersabda,” izinkanlah isteri-isteri kalian di malam hari untuk ke mesjid,”(  HR Muslim Kitab Shalat No : 139). (pent)

[205] Tahqiqnya akan datang nanti.
[206] Tafsir Ath Thabari 18/119.
[207] As Sunan Al Kubra 2/182-183, 7/86.
[208] Tahdzib Al Kamal 7/663.
[209] Mizanul I’tidal 4/106.
[210] As Sunan Al Kubra 2/225, 7/852, Dan Syaikh Manshur  Ibnu Idris Al Bahutiy rahimahullah berkata : وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا  (dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya) Ibnu Abbas dan Aisyah berkata : Wajah dan kedua telapak tangannya, diriwayatkan oleh Al Baihaqi, dan dalam sanadnya ada kelemahan, dan ini berlawanan dengan Ibnu Masud. Dari Kitab kasyful Qina’ 1/243.
[211] Mizan Al ‘Itidal 1/112-113.
[212] Taqrib At Tahdzib 1/19.

[213] Mizan Al ‘Itidal 2/503.
[214] Taqrib At Tahdzib 1/450.
[215] Tafsir At Tabari 18/119, dan telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dan Al Hakim dari jalannya, dan beliau berkata : Ini hadits shahih sesuai syarat Muslim, dan ini tidak dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim, dan disetujui oleh Adz Dzahabi dalam At Talkhish.
[216] Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim 2/283.
[217] Ad Durr Al Mantsur 5/42.
[218] Lihat contohnya fathul bari 8/207,228,265.
[219] Tahdzib At Tahdzib 7/340.
[220] Tahdzib Al Kamal 7/340.
[221] Mahasin At Ta’wil 4/4909.
[222] Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an 14/243.
[223] Risalatul Hijab Fil Kitab Was Sunnah 21-26.
[224] Hijabul Mar’ah Wa Libasuha Fish Shalah 13-17. Majmu fatawa 22/110,dan dari uraian ini jelaslah bahwa Syaikhul Islam berpendapat adanya nasakh (penghapusan hukum) dalam periode-periode pensyari’atan hijab, beliau rahimahullah berkata : Dan sebaliknya hal itu wajah, kedua kaki dan kedua telapak kaki maka wanita tidak boleh menampakannya kepada laki-laki lain menurut pendapat yang paling shahih, ini berbeda dengan keadaan sebelum terjadi nasakh, tetapi (sekarang setelah terjadi nasakh) dia tidak boleh menampakan kecuali pakaian saja,” Dan beliau rahimahullah berkata lagi : Dan adapun wajahnya, kedua tangannya dan kedua telapak kakinya maka dia hanya dilarang menampakannya kepada laki-laki yang bukan mahramnya, dan dia tidak dilarang menampakannya kepada sesama wanita dan laki-laki mahramnya. Dari Majmu Fatawa 22/117-118.
[225] Risalatul Hijab Was Sufur 19.
[226] Zadul Masir 6/31.
[227] Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an 12/229.
[228]Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an 12/229.
[229] Istidlal Al Imam Al Qurthubi ini dikomentari oleh Al Albani dengan perkatannya : saya berkata : Dan  komentar ini perlu ditinjau juga, karena meskipun biasanya wajah dan kedua telapak tangan itu nampak dari sisi hukum kenyataan, maka sesungguhnya itu terjadi karena ada unsur kesengajaan dari mukallaf, sedangkan ayat sesuai apa yang kami pahami hanya memberikan faidah pengecualian sesuatu yang nampak tanpa ada unsur kesengajaan, maka mana mungkin menjadikannya sebagai dalil yang mencakup sesuatu yang nampak dengan unsur kesengajaan ? maka perhatikanlah dengan cermat…. Dari Kitab Hijab Al Mar’ah Al Muslimah 24.
[230] Lihat jawabannya nanti pada pembahasan selanjutnya.
[231] Ini sebanding dengan firman-Nya,” maka dalam rahmat Allah mereka kekal di dalamnya,” dan yang dimaksud dengan rahmat di sini adalah surga, karena dia adalah tempat rahmat, begitu juga firman-Nya,” janganlah kalian mendekati shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk,” dan yang dimaksud dengannya adalah tempat-tempat shalat, Az Zamakhsyari berkata : dan menyebutkan perhiasan tanpa menyebut tempatnya adalah untuk tujuan penekanan dalam perintah menutupi, karena sesungguhnya Dia tidak melarang menampakan zinah itu kecuali karena zinah tersebut ada pada tempat (anggota badan) itu, oleh sebab itu menampakan tempat itu sendirinya termasuk yang dilarang dan haram dinampakan lebih duluan.
[232] ‘Inayatul Qadli wa Kifayatul Ar Radli 6/373.
[233] At Tashil Li Ulumit Tanzil 3/64.
[234] Tafsir Al Qur’an Al Adhim 6/46-47.
Syaikh Al Anshari berkata ketika mengomentari perkataan Ibnu Katsir rahimahullah ini : Dan maksudnya bahwa di dalamnya ada dilalah yang menunjukan bahwa menutup seluruh tubuh telah menjadi bagian agama yang dilakukan oleh wanita para shahabat, para tabiin dan wanita kaum muslimin. Inilah Rasulullah r ketika ayat hijab telah diturunkan kepadanya beliau langsung mengajarkannya, dan mengajarkan tafsirnya serta hikmahnya, dan inilah mereka para shahabat dari kalangan muhajirin dan anshar mempelajari ayat-ayat  ini beserta tafsirnya, kemudian mereka kembali ke rumahnya dan terus mengajarkannya kepada ister-isterinya, puteri-puterinya, saudari-saudarinya, dan wanita-wanita yang ada di rumahnya. Dan inilah para shahabiyyat yang suci mereka mendengar dan mempelajari ayat ini dari Rasulullah r atau dari orang yang mempelajarinya dari Rasulullah r, kemudian mereka langsung merobek kain tebal yang mereka miliki dan menutupi wajahnya, dan mereka menjadikan niqab (cadar) sebagai bagian pakaian mereka, dan inilah yang telah menjadi bagian kebiasaan agama wanita wanita arab dan wanita kaum muslimin seluruhnya, bukan pada zaman Rasulullah r, para shahabat, dan tabiin saja, bahkan Al Imam Asy Syaukani menghikayatkan dari Ibnu Ruslan kesepakatan kaum muslimin atas terlarangnya wanita keluar dengan membuka wajahnya apalagi  di kala banyaknya orang-orang fasik (Nailulul Authar 6/245). Dan apa yang dilakukan oleh mereka dan isteri mereka ini bukan sekedar inisiatif dari mereka dan bukan pula pengharusan dari mereka sendiri  dengan sesuatu yang  tidak diharuskan oleh Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana yang diklaim oleh orang yang mengklaim, namun mereka melakukan semua itu –sebagaimana yang dikabarkan oleh Ash Shiddiqah (Aisyah) Bintu Ash Shiddiq (Abu Bakar)- sebagai rasa iman mereka terhadap kitab Allah dan  pembenaran tanzilnya, dan sebagai bentuk realisasi terhadap perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya. Dan tidak samar lagi bagi mereka bahwa perintah-perintah Allah (asalanya) menunjukan kewajiban dan larangan-larangan-Nya menunjukan keharaman, dan sesungguhnya isteri-isteri mereka dengan menutup wajah-wajahnya itu adalah melaksanakan perintah berhijab dan perintah penguluran jilbab, dan menghindari dari menampakan perhiasannya, dan mereka itu (para wanita masa salaf) merupakan  para wanita yang mencerminkan masyarakat yang diinginkan Allah kemudian  Rasul-Nya ingin menegakkannya, dan setelah penjelasan ini semua saya tidak tahu bagaimana ada orang yang meragukan wajibnya menutup muka dan haramnya menampakannya ? Dan apa dan siapa orangnya yang bisa dijadikan pegangan setelah Allah, Rasul-Nya, dan para shahabat serta kaum mu’minin ? Dari majallah Al Jami’ah As Salafiyyah.
[235] Tafsir Al Jalalain 2/54.
[236] Al Khajandi menukulnya dalam Hablu Asy Syar’il Hakim 234.
[237] Al Furu’ 1/601.
[238] Faidl Bari 4/24.
[239] Lihat juga kitab yang sama 4/308 dan akan datang jawaban atas hadits Fadl nanti Insya Allah Ta’ala.

[240] Syaikh Muhammad shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata : Sesungguhnya Allah U memerintahkan kaum mu’minat agar menjaga kemaluannya, sedangkan perintah menjaga kemaluan merupakan perintah untuk menjaganya dan menjaga segala sesuatu yang menjadi wasilah kepadanya, dan orang yang berakal tidak meragukan lagi bahwa salah satu sarana (wasilah) untuk menjaganya adalah menutupi wajah, karena membukanya merupakan sebab untuk melihatnya, mengamati kecantikan, dan menikmatinya, dan yang berikutnya adalah menjalin hubungan dan menghubunginya, sedangkan dalam hadits,” Kedua mata itu zina, dan zinanya adalah memandang,” sampai sabdanya r ,” Dan kemaluan mengiyakan atau mendustakannya,” maka bila menutupi wajah merupakan salah satu sarana menjaga kemaluan maka pasti sekali menutupi wajah itu diperintahkan, karena sarana itu hukumnya sama dengan tujuan….Dari Risalah Hijab : 6.
[241] Ruhul Ma’ani 8/141.
[242] Majallatul Jami’ah As Salafiyyah, Mei, Juni 1978 M.
[243] Namun yang lebih nampak yang dimaksud oleh Ibnu Abbas dengan orang-orang yang masuk menemuinya (wanita) adalah kerabat-kerabat yang merupakan mahram baginya karena merekalah orang yang boleh masuk menemui wanita secara langsung, adapun laki-laki lain yang bukan mahramnya maka kita sudah mengetahui banyak sekali hadits-hadits yang melarang mereka masuk menemui perempuan diantaranya sabda beliau r dalam hadits shahih yang sudah masyhur ,” Janganlah kalian masuk menemui wanita,” seorang laki-laki berkata : Bagaimana pendapat engkau tentang kerabat suami ? Rasulullah r menjawab,” Kerabat suami adalah bencana,”..berarti orang yang merupakan mahram wanitalah yang hanya boleh melihat wajah dan telapak tangan itu….(pent)
[244] Adlwaul Bayan 1/10-12.
[245] Ibid 1/15-16
[246] Al ‘Araf : 31.
[247] Al ‘Araf : 32.
[248] Al Qashash : 60.
[249] Ash Shaffat : 6.
[250] An Nahl : 8.
[251] Al Qashash : 79.
[252] Al Kahfi : 46.
[253] Al Hadid : 20.
[254] Thaha : 59.
[255] Thaha : 87.
[256] An Nur : 31.
[257] Lihat Adlwa Al Bayan : 6/192-202.
[258] Telah dijelaskan bahwa riwayat yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas itu adalah lemah sekali, bahkan bertentangan dengan penafsiran beliau sendiri yang lebih kuat dalam tafsir surat Al Ahzab : 59, namun sebagian orang berusaha untuk menjadikan kuat riwayat yang lemah tersebut (pent).
[259] Tafsir Surat An Nur, hal : 157-158.
[260] Dan di antar bukti bahwa hijab dengan menutupi aurat itu berbeda adalah kewajiban wanita bila hendak keluar rumah atau ada laki-laki yang bukan mahram dia harus mengenakan jilbab (jubah) sebagai penutup baju kurungnya dan khimarnya (kerudung) kalau seandainya perintah itu hanya sekedar menutupi aurat buat apa dia diperintahkan mengenakan jilbab sebagai rangkap pakaian tadi di dalam surat Al Ahzab :59.(pent)
[261] Taisur Wahyain 1/142-143.
[262] Risalatul Hijab :8-9.
[263] Hijabul Mar’ah Al Muslimah, hamisy : 33.
[264] Dinukil dari yang sebelumnya : 71.
[265] Nadzarat Fi Hijabil Mar’ah Al Muslimah : 44-45, dan Syaikh juga berkat : Dan kaidah dasar dalam menafsirkan lafadz-lafadz Al Qur’an Al Aziz, dan menerafkan apa yang dikehendaki Allah dalam apa yang khusus berkenaan dengan laki-laki adalah dibatasi dengan apa yang dilakukan dan dikatakan Nabi r, dan adapun yang khusus berkenaan dengan wanita adalah bisa didapatkan prakteknya dari isteri-isteri dan puteri-puteri Nabi r, karena mereka adalah tauladan tertinggi bagi wanita kaum mu’minin hingga hari kiamat…..dan lihat juga kitabnya hal : 70-71,77-79.
[266] Nadzarat, lihat bawahnya hal : 15.
[267] Risalatul Hijab : 7-8.
[268] Syaikh Mahmud Ibnu Ahmad Al Aini berkata dalam Umdatul Qari  10/92 : Perkataannya : Wanita-wanita muhajirat pertama,” Yaitu para wanita yang hijrah, perkataannya,” Muruthnya,” adalah jamak dari Mirth yang berarti sarung, perkataannya,” Mereka berikhtimar dengannya,” berarti mereka menutupi wajahnya dengan sarung yang telah mereka robek itu..
[269] An Nahl : 44.
[270] Muhammad Ibnu Al Hasan berkata : I’tijar tidak terjadi kecuali dengan memakai niqab (menutupi wajah), caranya adalah melipatkan sebagian kain ‘imamah (penutup kepala) pada kepalanya, dan sebagian darinya dijadikan seperti mi’jar bagi wanita yaitu melipatnya pada bagian wajahnya…dikutip dari Al Mabsuth 1/31.
[271] Syaikh Abu Hisyam Al Anshari berkata : Di antara hal yang aneh adalah sebagian mereka beristidlal dengan firman-Nya, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka bahwa wajah  itu tidak termasuk dalam hijab, karena Allah U tidak menyuruh menutupi wajah di dalamnya, saya katakan : Ya, Allah tidak menyuruhnya di sini, namun Dia juga tidak menyuruh menutupi kepala, leher, dan kedua tangan  di sini, maka apakah boleh bagi dia membuka semua anggota ini ? Maka apa jawaban kalian, maka itu juga merupakan jawaban kami) dinukil dari Majallah Al Jami’ah As Salafiyyah, edisi Mei, Juni 1978.
[272] Adlwaul Bayan 6/595.
[273] Beliau adalah seorang ulama yang selalu memberikan ceramah-ceramah dan kajian-kajiannya di mesjid nabawi Al Madinah. (pent)
[274] Fashlul Khithab :41.
[275] Risalatul Hijab : 9-10.
[276] Nadzarat Fi Hijabil Mar’ah Al Muslimah   45-47.
[277] Hijabul Mar’ah Al Muslimah : 36.
[278] Maksudnya : Pakaian luar yang kalau dibuka tiada menampakan aurat (terjemahan Depag Footnote no : 1051).(pent)
[279] Jamiul Bayan 18/165-167.
[280] Ahkamul Qur’an : 3/333-334.
[281] Tafsir Ilkiya Al Harras Ath Thabari
[282] Ma’alimut Tanzil.
[283] Al Baqarah : 237
[284] Al Baqarah : 280
[285] Al Kasysyaf 3/76.
[286] Al Intishaf fima Tadlammanahul Kasysyaf Minal ‘Itizal, dalam Hamisy Al Kasysyaf 3/76
[287] As Sunan Al Kubra karya Al Baihaqiy.
[288] Ini tergolong ungkapan yang disebutkan sesuatu yang umum namun yang dimaksud adalah sebagiannya.
[289] At Tafsir Al Kabir 6/307.
[290] Riwayat Ibnu Abi Hatim sebagaimana dalam Tafsir Al Qur’an Al Adzim 6/91.
[291] Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an 12/309-311.
[292]   Telah lewat takhrijnya., dan Hafshah adalah Ummu Al Hudzail Al Anshariyyah Al Bashriyyah At Tabi’iyyah  saudari Muhammad Ibnu Sirin, Ibnu Main berkata : Tsiqah Hujjah, Iyas Ibnu Muawiyyah berkata : Saya tidak pernah mendapatkan orang yang lebih utama dari Hafshah, dan Ibnu Hibban mencantumkannya dalam Ats Tsiqat dan lihat Tahdzibut Tahdzib 12/409-410
[293]   Ruhul bayan 6/178
[294]   dikeluarkan oleh At Tirmidzi (2451) dan berkata : Hasan gharib kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini, dan Ibnu Majah (4215), Al Hakim4/319 dan beliau shahihkan, dan disetujui Adz Dzahabi, Al Baihaqi 5/335 dari ‘Athiyyah As Sa’di t secara marfu’ dan di dalam sanadnya ada Abdullah Ibnu Yazid Ad Dimasyqiy yang diokatakan oleh Al Jauz jani : Ibnu Aqil meriwayatkan darinya hadits-hadits mungkar, lihat tahdzibut Tahdzib 6/82-83.
[295]   Dan diantaranya perkataan sebagian mereka dalam memuji orang yang menjaga iffahnya :
Bila di dalam mimpi dia hendak melakukan perbuatan keji
Maka keiffahannya mengingatkannya, sehingga dia tersadar.
[296] Ruhul Bayan 6/178.
[297] Taisirul Karimir Rahman 5/218.

[298] Adlwaul Bayan 6/591.
[299] Dan mereka berkata dalam hal makna ini :
Setiap yang terjatuh di suatu kampung itu pasti ada yang memungutnya.
Dan setiap barang yang tidak laku, suatu hari pasti ada laku dijual di pasar

[300] Risalatul Hijab Was Sufur 6-7.
[301] Ash Sharim Al Masyhur ‘Ala Ahlit Tabarruj Wa Sufur 63.
[302] Hadits Shahih riwayat At Tirmidzi no :1173 kitab Ar Radla’ bab 18, Ibnu Khuzaimah 1685,1686, dan dishahihkan oleh Al Albaniy dalam Al Irwa  273.lihat Rafu’l junnah :15-16 (pent). Penulis kitab Rafu’l junnah berkata : dan dari sini ada baiknya saya menukil perkataan Al Qurthubi di sini dan yang telah dinukil darinya oleh Syaikh Al Albaniy yang berbeda dengan perkataan ini, tatkala beliau rahimahullah  berkata dalam Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an 14/227 dalam rangka menafsirkan ayat dalam surat Al Ahzab yaitu firman-Nya U,”Dan bila kalian meminta sesuatu keperluan kepada mereka maka mintalah dari balik tabir,”ayat 53….kemudian beliau menyebutkan beberapa masalah yang penting, terus beliau rahimahullah  berkata : Masalah kesembilan : Dalam ayat ini ada dalil yang menunjukan bahwa Allah U mengizinkan meminta kepada mereka dari balik tabir dalam suatu keperluan yang datang, atau masalah yang membutuhkan fatwanya, dan termasuk dalam hukum ini adalah semua wanita dengan adanya makna (alasan hukum yang menyatukan), dan ketercakupannya oleh ushul syari’at yaitu bahwa wanita itu seluruh tubuhnya adalah aurat, badannya, dan suaranya sebagaimana yang telah lalu dijelaskan, maka tidak boleh membuka itu kecuali ada hajat seperti kesaksian atasnya, atau penyakit yang ada di badannya, atau menanyakan sesuatu yang terjadi padanya, dan hanya ada padanya…
Saya berkata : Beginilah Al Imam Al Qurthubi rahimahullah  menarik diri dari pendapat beliau sebelumnya yang membolehkan wanita membuka wajah dan kedua tangannya, bila memang beliau pernah berpendapat seperti itu sebagai mana yang dinukil oleh Syaikh Al Albani darinya, kemudian beliau rujuk kepada pendapat ini yang shahih lagi jelas serta didukung dengan banyak hadits shahih, dan di antaranya adalah hadits shahih ini yang menyatakan bahwa wanita itu seluruh (tubuhnya) adalah aurat. Lihat Raf’ul Junnah 19. (pent)
[303] Ash Shrim Al Masyhur 96, dan Ar Raddul Qawiyy 245.
[304] Lihat takhrij sebelumnya.
[305] Adhwa Al Bayan 6/596.
[306] Dikeluarkan oleh Al Bukhari 4/52 no :1838 dalam jazaa ashshaid : Bab ma yunha min Ath Thiib lilmuhrim wal muhrimah, Al Muwaththa’ 1/324 dalam Al Haj bab  ma yunha ‘anhu min labsitstsiyab fil ihram, At Tirmidzi no :833 fil haj bab Ma jaa’Artinya: fimaa laa yajuzi lilmuhrim lasuhu, dan berkata : hasan shahih, Abu Dawud no : 1825-1826 dalam al manaasik bab ma yalbasul muhrim, An Nasai 5/135 dalam Al Haj bab an nahy an talbasal muhrimatu al qaffazain, dan Imam Ahmad 2/119.
[307] Ibrazul Haq wash shawab fi mas’alatis sufur wal hijab- halaqah V- Majallah Al Jami’ah As salafiyyah.
[308] Ini sama halnya dengan laki-laki, dia dilarang mengenakan kemeja dan celana di saat ihram, namun bukan maksudnya dia tidak boleh menutup badannya, tapi dia menutup badannya dengan kain lain seperti sarung dan selendang, hendaklah pembaca paham (pent)
[309] ‘Aridlatul Ahwadzi 4/56.
[310] Majmu’ Al fatawa 15/370-371.
[311] Ini sebagai bantahan kepada orang yang mengatakan bahwa ketika wanita menutup wajahnya dari laki-laki di saat ihram harus menjauhkan kain itu dari menempel ke kulit wajah. (pent)
[312] Yaitu di saat ihram.
[313] Majmu Al Fatawa 20/120
[314] Tahdzib Sunan Abi Dawud 5/282-283, dalam hamisy Aunul Ma’bud.
[315] Dan dari Aisyah radhiyallahu 'anha  berkata : Wanita yang sedang ihram boleh memakai pakaian apa saja yang dia sukai kecuali pakaian yang telah terlumuri  Za’faran dan Waras (wangi-wangian), dia jangan memakai burqa, jangan memakai masker, dan dia (bisa) mengulurkan kain kepada wajahnya. ..Diriwayatkan oleh Al Baihaqiy 5/47, dan lainnya, lihat Masailul Imam Ahmad karya Abu Dawud 108-110.
[316] I’lamul Muwaqqi’in ‘An Rabbil ‘Alamin.
[317] Lihat Nailul Authar 5/71.
[318] Badai’ul fawaid 3/174-175.
[319] Fathul Bari 3/406.
[320] Al ‘Uddah Syarhul ‘Umdah bihasyiyati Ash Shan’aniy 3/476.
[321] HR Abu Dawud no : 4117, At Tirmidziy 4/223, An Nasai  8/209, Al Imam Ahmad 2/5,55, Abdur Razzaq 11/82, Abu ‘Uwanah 5/482, dan At Tirmidzi berkata : Ini hadits hasan shahih.
[322] Lihat sunan An Nasai 8/209, Ibnu Majah 3580, Ahmad 6/293-309, Ibnu Abi Syaibah 8/220, Ad Darimi 2647, Ibnu Hibban 1451 mawarid, Ath Thabrani dalam Al Kabir 23/358,416,417.
[323] Al Musnad 2/90.
[324] Ash Sharim Al Masyhur 97-98.
[325] Al Hijab 18.
[326] Al Bukhari 9/330 dalam An nikah bab : Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali mahramnya, dan (larangan) masuk menemui wanita yang ditinggal pergi suaminya, Muslim no : 2172 kitab salam bab haramnya khalwat dan menemui wanita bukan mahram, At Tirmidzi no :1171 kitab Ar Radla’ bab : Ma Jaa’Artinya: Fi Karahiyyatid Dukhul ‘Alal Mughibat, Dan Imam Ahmad 4/149-153.
[327] Asy Syuara’ :184
[328] Adlwaul Bayan 6/592-593.
[329] Fathul Bari 9/331
[330] Karena khalwat lebih khusus dari sekedar masuk menemuinya, orang yang masuk ke dalam ruangan yang di sana banyak wanita, berarti di telah masuk menemuinya dan melakukan ikhtilath, sedang ini haram, dan bila dia berduaan dengan seorang wanita berarti dia sudah khalwat dengannya. (pent)
[331] Dinisbatkan kepada An Nihayah 1/448.
[332] Risalatul Hijab 33-35.
[333] Ila Kulli Fatatin Tu’minu Billah 40-41.
[334] Dan dalam satu riwayat Rasulullah r berkata kepada Aisyah : Izinkan dia, karena sesungguhnya dia itu adalah pamanmu, semoga engkau beruntung,” dan dalam satu riwayat,” Aflah benar, izinkan dia,”.
Dan hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhari 6/147 dalam kitab Al Jihad, bab Maa jaa’Artinya: fi buyuti Azwajin Nabiyyi r  Wama Nusiba Minal Buyuti Ilaihinna, dan dalam Asy Syahadat, dalam An Nikah, dan Imam Muslim no : 1444 dalam kitab Ar Radla’ bab maa yahrumu minar Radl’ati maa yahrumu minal wiladah, dan Al Muwaththa 2/601-602 dalam Ar Radla’ bab Rada’atush shaghir, dan At Tirmidzi no : 1147 dalam Ar Radla’, Abu Dawud no:2055 dalam An Nikah, dan An Nasai 6/99 dalam An Nikah.
[335] fathul Bari cetakan As Salafiyyah 9/152.
[336] Karena sebelumnya disebutkan dalam hadits itu bahwa sebab keengganan Aisyah radhiyallahu 'anha dari memberikan izin kepada Aflah untuk masuk menemuinya adalah karena ayat hijab telah turun, dan disini Ibnu Hajar mengatakan bahwa dalam hadits itu ada petunjuk wajibnya wanita berhijab dari laki-laki yang bukan mahram. (pent)
[337] Mukatab adalah hamba sahaya yang diperintahkan oleh tuannya atau dia sendiri yang mengajukan untuk berusaha supaya bisa menebus dirinya, dan setelah lunas dia merdeka (pent)
[338] Dikeluarkan oleh Abu Dawud 4/21 no : 3928, At Tirmidzi no : 1261, dan berkata : dan ini adalah hadits hasan shahih, dan makna hadits ini menganjurkan kehati-hatian menurut para ahli ilmu, dan mereka berkata : Mukatab tidak menjadi merdeka, meskipun dia memiliki barang tebusan sampai dia menebusnya,” Ibnu Majah 2520, Al hakim 2/219, dan berkata ; Shahihul Isnad, dan disetujui oleh Adz Dzahabiy, Ibnu Hibban 1412, Al Baihaqiy 10/327, dan beliau mengisyaratkan akan ketidakdiketahuian Nubhan, kemudian beliau berkata : Asy Syafi’I berkata : Saya tidak mengetahui ada ahli ilmu yang mengatakan hadits ini tsabit.., Imam Ahmad 6/289,308,311, dan lihat  pembicaraan tentang Nubhan maula Ummu Salamah hal :….
Tapi yang jelas hadits ini adalah shahih, karena Nubhan itu tudak majhul, Imam Al Bukhari mencantumkan biografinya dalam At Tarikh Al Kabir 8/135 no ; 2466, juga Ibnu Abi Hatim Dalam Al Jarhu Wat Ta’dil no : 2300 8/502, dan Ibnu Hibban memasukannya dalam Ats Tsiqat 5/487, sebagaimana dinyatakan shahih oleh Imam Ahmad dalam Masailul Imam Ahmad riwayat Ibnu Hani’ 2/182 no : 1994, lebih jelasnya lihat Raf’ul junnah 23-34. (pent)
[339] Risalatul Hijab hal : 19.
[340] Musykilul Aatsar 1/19.
[341] Diriwayatkan oleh Al Baihaqiy 7/95, dan dinyatakan shahih oleh Al Albaniy dalam Irwaul Ghalil 6/183, dan Al Baihaqiy berkata sesudah menuturkannya :  Dan kami meriwayatkan dari Al Qasim Ibnu Muhammad, bahwa beliau berkata ;  Seungguhnya Ummahatul Mu’minin bila seseorang di antara mereka memiliki mukatab, maka dia membuka hijab di hadapannya selama masih ada tanggungan atasnya satu dirham, dan bila telah melunasinya, maka dia mengulurkan hijabnya dari pandangannya.
[342] Istirja’ adalah ucapan Innaa Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’uun.
[343] Bagian dari hadits Ifki yang sangat panjang, diriwayatkan oleh Al Bukhari 5/198-201, dalam Asy Syahadat dan Al Jihad serta Al Maghazi, juga dalam Tafsir Surat Yusuf, An Nur, Al Aiman wan Nudzur, Al I’Tisham, At Tauhid. Imam Muslim no : 2770 dalam At Taubah bab haditsil ifki, At Tirmidzi no : 3179 dalam Tafsir surat An Nur, An Nasai 1/163-164 dalam Ath Thaharah bab badit tayammum, dan tidak lah Ash Shiddiqah bintu Ash Shiddiq menutupi wajahnya kecuali karena wajah itu aurat dan perhiasan yang harus disembunyikan. Syaikh Abdul Aziz Ibnu Khalaf hafidhahullah : Dan ini juga merupakan di antara dalil wajibnya (menutupi wajah) karena beliau menutupi wajahnya dengan jilbab, karena tidak ada satupun patah katapun dari Al Qur’an maupun As Sunnah yang menunjukan bahwa menutupinya itu adalah khusus bagi Ummahatul Mu’minin, dan karena hijab itu berbeda dengan mengulurkan, dan ini jelas sekali… Dari Nadharat Fio Hijabil Mar’ah Al Muslimah hal : 96.
[344] Ath Thabaqat Al Kubra 8/178, dan lihat Al Jami’ Li Ahkamil Quran karya Al Qurthubiy 12/232.
[345] Alasan halal memandangi mereka baginya adalah karena Ummahatul Mu’minin adalah termasuk mahram bagi keduanya, karena mereka adalah isteri-isteri kakeknya.(pent)
[346] Urwah adalah Ibnu Az Zubair, dan ibnunya adalah Asma Bintu Abi Bakar, maka Aisyah radhiyallahu 'anha adalah bibinya, oleh sebab itu dia bisa masuk menemuinya.
[347] Ath Thabaqat Al Kubra 8/211.
[348] Riwayat Ath Thayalisi dalam musnadnya.
[349] Ath Thabaqat Al Kubra 8/126.
[350] Haudaj adalah gubuk yang diletakan di atas unta di mana para wanita berada di dalamnya di perjalanan.
[351] Ath Thabaqat Al Kubra 8/209.
[352] Diriwayatkan oleh Muslim dan yang lainnya, Doktor Al Buthi berkata : Tidak boleh ini dikatakan adalah hukum khusus bagi isteri-isteri Rasulullah r, karena tidak ada perbedaan antara isteri-isteri Nabi r dengan wanita lainnya dalam hal hijab, perbedaan yang ada adalah pada masalah waktu pensyariatan, yaitu bahwa pensyariatan hijab diberlakukan bagi isteri-isteri Nabi rt terlebih dahulu, kemudian setelah itu diberlakukan bagi wanita lainnya…dari buku Ila Kulli Fatatin Tu’minu billah 41-42.
[353] Dikeluarkan oleh Al Bukhari 1/125, 3/434, Muslim 3/22, An Nasai 1/236, Al Baihaqiy 7/92, dan Ahmad 6/84-85.
[354] Diriwayatkan oleh Abu Dawud no : 4112  4/361 dalam kitab Al Libas bab : Firman Allah U ,” Dan katakanlah kepada wanita-wanita mu’minah ,”Hendaklah mereka menundukan pandangannya,”, At Tirmidzi no : 2779  5/102 dalam kitab Al Adab bab maa jaa’ Artinya: fihtijabinnisa minar rijal, dan At Tirmidzi berkata : Hadits hasan Shahih, Imam Ahmad 6/296, Ibnu Saad dalam Ath Thabaqat 8/126-127, Ibnu Hibban 1357,1968, Ath Thahawi dalam Al Musykil 1/115-116, Al Baihaqi 7/91-92, dan Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah 9/34.
An Nawawi rahimahullah  berkata : dan hadits ini adalah hasan, dan celaan orang yang mencela hadits ini tanpa hujjah yang bisa dipegang tidak usah tidak dihiraukan.. Syarah An Nawawi 10/97.
Dan Nubhan adalah Al Makhzumi bekas budak Ummu Salamah, Al Hafidz Ibnu Hajar berkata : Ashhabus Sunan mengeluarkan hadits ini dari Az Zuhri dari Nubhan bekas budak Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, sedangkan isnadnya adalah kuat, dan penganggapan cacat hadits ini paling banyak karena sebab menyendirinya Az Zuhri dalam meriwayatkannya dari Nubhan, dan ini sebenarnya bukanlah cacat yang bisa mengganggu keabsahan hadits ini, karena orang yang dikenal oleh Az Zuri dan dikatakannya bahwa dia adalah Mukatab Ummu Salamah, terus tidak seorangpun yang menjarhnya (mencacatnya), maka riwayatnya tidak bisa ditolak..Fathul Bari 9/337.
Dan beliau berkata lagi ditempat lain : Hadits yang dipertentangkan keshahihannya… Al Fath 1/550, dan beliau berkata dalam Talkhish Al Habir : Di dalam sanadnya tidak ada kecuali Nubhan mantan budak Ummu Salamah, guru Az Zuhri, dan dia itu telah ditautsiq (dianggap tsiqah) 3/148, yang dimaksud beliau sepertinya adalah tautsiq Ibnu Hibban terhadapnya, sebagaiman yang beliau utarakan dengan jelas dalam At Tahdzib 10/416, dan telah ditsiqahkan oleh Al Hafidz Adz Dzahabi dalam Al Kasyif, dan dilemahkan oleh Al Albaniy dalam Takhrij Fiqhis Sirah 44-45, Irwaul Ghalil 1806 6/210, dan lihatlah Umdatul Qari 20/216-217, maka bila seandainya hadits ini shahih  berarti perkataan At Tirmidzi : Bab tentang berhijabnya wanita dari laki-laki,” memberi faidah umumnya hukum hijab bagi seluruh wanita ummat ini, dan itu bukan khusus bagi Ummahatul Mu’minin, sedangkan perintah –meskipun diarahkan kepada mereka- maka yang lainnya pun ikut bersama mereka radliyallahu ‘anhunna.
Hadits ini adalah shahih, dishahihkan oleh Imam Ahmad dalam Masail Imam Ahmad Riwayat Ibnu Hani’ 1994  2/182, An Nawawi menghasankannya, Ibnu Hajar mengatakan isnadnya kuat, At Turkumaniy menshahihkannya dalam Al Jauhar An Naqiy 10/327-328, Al Majdu Ibnu Taimiyyah, Asy Syaukani dan ulama hadits yang lainnya, adapun yang mendlaifkan hadits ini adalah Ibnu Hazm yang sudah dikenal terlalu tasyaddud dalam penilaian hadits dan ulama yang mengikuti beliau, juga sebab penglemahannya adalah karena beliau menganggap Nubhan itu majhul, padahal tidak majhul, seperti yang anda ketahui, sedangkan orang yang mengetahui menjadi hujjah atas yang tidak mengetahui. (pent dari Raful Junnah 24-34)
[355] Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam banyak tempat di kitab shalat, adzan, shalat khauf, jihad, anbiya, dan al maghazi, Imam Muslim 1365 dalam kitab nikah bab keutamaan memerdekakan budak kemudian menikahinya dan dalam kitab Al maghazi bab ghazwatu Badr, An Nasai 6/131-134 dalam kitab nikah bab Al Bina’ Fis safar.
[356] Nadharat Fi Hijabil Mar’ah Al Muslimah 97.
[357] Digauli tanpa nikah, ini boleh dilakukan oleh si tuan terhadap budaknya, adapun wanita merdeka tidak boleh (pent)
[358] Majallah Al Jami’ah As Salafiyyah.
[359] Ikhtimar adalah menutupi wajah, lihat penjelasan sebelumnya dalam penjelasan dalil ayat tersebut, (pent).
[360] Riwayat Al Bukhari 4758 dalam kitab tafsir, bab,” dan hendaklah mereka menutupkan kain kudungnya ke dada mereka,” Fathul Bari 8/489.
[361] Tafsir Ibnu Katsir 5/90.
[362][362] Fathul Qadir karya Asy Syaukani 4/307
[363] Ila Kulli Fatatin Tu’minu Billah 41.
[364] Fathul Bari 8/490.
[365] Lihat dalil kelima dari Al Qur’an.
[366] Riwayat Abu Dawud 1833 2/167 dalam kitab Al Hajj bab Al Muhrimatu tughaththi wajhaha, dan dari Aisyah juga Al Baihaqi meriwayatkan 5/48, dan keduanya diriwayatkan oleh Ahmad 6/30, Ibnu Majah 2935, dan Ad Daruquthni 286,287.
[367] Isyarat kepad hadits ini dan hadits yang sebelumnya, yaitu hadits Ifki, di mana dalam hadits itu ada perkataan Aisyah radhiyallahu 'anha,” Dan dia itu pernah melihatku sebelum (disyariatkan) hijab,” dan perkatannya,” maka saya menutup wajahku dengan jilbabku,”
[368] Al Muwaththa’ 1/328 kitab Haji bab takhmiril muhrim wajhahu.
[369] Aunul Ma’bud 5/102,104,105.
[370] Nailul Authar 5/7.
[371] Majallah Al Jami’ah As Salafiyyah, Oktober 1978.
[372] Dikeluarkan oleh Al Hakim 1/454, beliau berkata : Shahih sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim, dan disepakati oleh Adz Dzahabiy.
[373] Dikeluarkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa’ 1/328 dalam kitab haji bab Takhmiril muhrim wajhahu, dan Al Hakim dalam 1/454, beliau menyatakan shahih dan disetujui oleh Adz Dzahabiy.
[374] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 3/334, 3/360, Abu Dawud 2082 dalam kitab nikah bab seorang laki-laki melihat wanita sedangkan dia hendak menikahinya, Al Hakim 2/165, beliau berkata : Shahih sesuai syarat Muslim, dan disepakati oleh Adz Dzahabiy, Al Hafidh berkata dalam Bulughul Maram : Para perawinya tsiqat, dan beliau berkata dalam Fathul Bari : Dan sanadnya hasan, dan mempunyai penguat dari hadits Muhammad Ibnu Maslamah 9/181.
[375] Diriwayatkan oleh Said Ibnu Manshr dalam Sunannya 1/146 no: 519, Ibnu Majah 1886, Ath Thahawiy 2/8, Al Baihaqiy, Ath Thayalisiy 1186, Imam Ahmad 4/225, Al Hakim 3/434, dan berkata ; Ini hadits gharib, sedangkan Ibrahim Ibnu Shurmah tidak sesuai dengan syarat kitab ini, Adz Dzahabiy berkata dalam At Talkhish : Dilemahkan oleh Ad Daruquthniy, dan Abu Hatim berkata : Syaikh,” dan hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Az Zawaid 1235.
[376] Diriwayatkan oleh Said Ibnu Manshr dalam Sunannya 1/145 no: 516, At Tirmidzi 3/397 no : 1087 dalam kitab nikah bab maa jaa’Artinya: fi An Nadhri Ilal Makhthubah, dan beliau menghasankannya, An Nasai 6/69 dalam kitab Nikah bab Ibahatun Nadhri Qablat Tazwij, Ad Darimi 2/134, Ibnu Majah 1888, Ath Thahawiy 2/8, Ibnul Jarud dalam Al Muntaqa hal : 313, Ad Daruquthniy 3/252, Al Baihaqiy 7/84, Imam Ahmad 4/144, 4/245 dari Bakr Ibnu Abdillah Al Muzanniy dari Al Mughirah Ibnu Syu’bah, dan dikeluarkan pula dari Tsabit dari Anas t berkata : Mughirah hendak menikah…., Ibnu Majah 1887, Ibnu Hibban 1236 Mawarid, Ad Daruquthniy 3/253, Al Hakim 2/165, berkata : shahih sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim, dan disepakati oleh Adz Dzahabiy, Al Bushairiy berkata dalam Az Zawaid : Ini isnad shahih, para perawinya tsiqat..1/118.
[377] Ash Sharim Al Masyhur 94-95.
[378] Majallah Al Jamiah As Salafiyyah, November, Desember 1978.
[379] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 5/424, dan di dalam Majma’ Az Zawaid : Diriwayatkan oleh Ath Thabraniy dalam Al Ausath dan Al Kabir 4/276, dan berkata : para perawi Imam Ahmad perawi hadits shahih…Al hafidh tidak mengomentarinya dalam At Talkhish 3/147.
[380] Majallah Al Jamiah As Salafiyyah, November, Desember 1978.

[381] Al Mughni 6/552-553, secara ringkas, dan dalam masalah ini ada rincian yang bisa dirujuk dalam As Silsilah Ash Shahihah, hadits  no : 95-99.
[382] Lihat perbedaan dalam maalah ini dalam Al Fath 9/182.
[383] Risalatul hijab 42-43.
[384] Al Bukhari 9/295-296, kitab nikah, bab : Janganlah wanita bergumul dengan wanita, terus ia menceritakan (sifat-sifat tubuh) wanita itu kepada suaminya,Abu Dawud 2150 dalam kitab nikah, bab :  Maa yu’maru bihi min ghadldlil bashar, At Tirmidzi 2793 dalm kitab Adab, bab karahiyyati mubasyaratilrrajul ar rajul wal mar’ati al mar’ah.
[385] Irsyadus sari lisyarhi shahihil bukhari 9/237.
[386] Ash Sharim Al Masyhur 95.
[387] Muslim 2159 dalam kitab Adab, bab Nadhril faj’ah, Abu Dawud 2148 kitab Nikah, bab maa yu’maru bihi min ghadldlil bashar, At Tirmidzi 2777 kitab Adab, bab maa jaa’ fi nadhril faj’ah.
[388] Ash Sharim Al Masyhur 92, dan Syaikh Abu Hisyam Al Anshari berkata dalam rangka membantah orang yang beristidlal dengan hadits ini akan kebolehan sufur :( Istidlal dengan ini tidak benar, karena paling tidak yang ada hanyalah terjadinya memandang kepada wanita ajnabiyyah, dan ini tidak memestikan bolehnya membuka wajah dan tangan di hadapan laki-laki yang bukan mahram, dan inilah penjelasannya : Sesungguhnya banyak sekali wanita yang membuka wajah dan kedua telapak tangannya dengan dugaan bahwa ia itu aman dari pandangan laki-laki, padahal dia itu kelihatan olehnya, contohnya : seorang wanita lewat di jalan yang kosong dari laki-laki, terus dia membuka wajahnya padahal ternyata ada laki-laki di pintu rumahnya, jendelanya, di halaman, diloteng, atau di tempat lain yang menyebabkan dia bisa melihatnya, dan si wanita tidak menyadarinya, dan bahkan mungkin saja si wanita terpaksa membuka sebagian anggota badannya untuk tujuan tertentu, sebagaimana mungkin saja anggota tubuhnya terbuka tanpa disengaja atau bahkan tanpa dia sadari-dan telah kita bahas sebagiannya-, dan mungkin saja wanita itu bukan muslimah, atau muslimah namun berani melanggar perintah Allah dan dia membuka sebagian anggota tubuhnya dengan sengaja-dan ini telah merajalela zaman sekarang ini-maka caranya pada hal-hal seperti ini adalah si laki-laki diperintahkan untuk menundukan pandangan, dan bukan termasuk tuntutan ini seorang wanita membuka wajahnya tanpa udzur dan kepentingan atau mashlahat) dari Majallah Al Jamiah As Salafiyyah, November, Desember 1978.
[389] Al Qadli Abu Bakar Ibnu Al ‘Arabi Al Malikiy rahimahullah berkata  dalam kitab ‘Aridlatul Ahwadziy : (Perkataannya kepadanya,” Wanita itu tidak pernah ditemui sahabat-sahabatku,” Dalam penafsirannya ada dua pendapat. Pertama : Sesungguhnya hal itu terjadi sebelum turun perintah hijab, namun ini lemah, karena kepergian Ali ke Yaman disaat musafir bersama suami Fathimah terjadinya setelah turun ayat hijab beberapa saat.
Kedua : Dan ini yang benar, bahwa Ummu Syuraik itu adalah wanita yang terhormat lagi disegani, sehingga para Muhajirun dan Anshar sering masuk menemuinya karena kewibawaan dan kehormatannya, maka tempat itu tidak menjadi tempat yang aman (membuka pakaian) karena banyaknya orang yang keluar masuk, dan susah menjaga pakaiannya di sana, sehingga pada akhirnya Beliau memindahkannya ke rumah seorang wanita yang memiliki suami yang buta, sehingga terjaga dari laki-laki dan tertutup dari pandangan laki-laki pemilik rumah itu) 5/146
[390] Muslim 4/196 dan lafadhnya miliknya, Abu Dawud 2284, An nasai 2/74-75, Ath Thahawiy 2/38, Al Baihaqi 7/432, Ahmad 6/412 dan lihat Al ‘Uddah Syarh Al Umdah dengan Hasyiyah Ash Shan’aniy  4/240-241.
[391] Lihat pembahasan sebelumnya, dan lihat Nadharat Fi Hijabil Mar’ah Al Muslimah 72-73, erta Ash Sharim Al Mayhur 77-78.
[392] Dan dalam kitab Thaharah Al Bukhari dijelaskan bahwa itu terjadi sebelum hijab, dan jawabnya adalah seperti apa yang dijelaskan Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah : bahwa ( yang dimaksud dengan hijab yang awal adalah bukan hijab yang kedua, walhasil bahwa Umar sangat tidak senang kalau ada orang lain melihat isteri Nabi r, dengan terang dia menyatakan kepada Rasulullah r : Tutuplah isteri-isteri engkau !,” dan belia menekankannya terus sampai akhirnya turun ayat hijab, kemudian setelah itu Umar berkeinginan kuat agar postur (syakhsh) tubuh isteri-isteri Nabi r itu tidak nampak meskipun mereka itu sudah menutupi tubuhnya, dia terus menekankannya, namun dia dilarang dari maksudnya itu, dan diizinkan bagi mereka untuk keluar dengan tujuan hajat mereka, demi menjaga kesulitan dan keusahan.
[393] Al Bukhari 1/218 dalam kitab Al Wudlu bab wanita keluar untuk buang hajat, dan kitab tafsir dalam tafsir surat Al Ahzab bab firman-Nya,”Janganlah kalian masuk ke rumah-rumah nabi kecuali bila kalian diizinkan,” dalam minta izin, bab ayat hijab, Muslim 2170 kitab salam bab bolehnyawanita keluar buat hajat manusia.
[394] Majallah Al Jami’ah As salafiyyah.
[395] Imam Ahmad 2/169, Abu dawud, An Nasai, Ibnu Hibban dalam shahihnya dan Al hakim dalam Al Mustadrak 1/373, dan berkata : Shahih sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim, namun keduany  tidak mengeluarkannya, dan disepakati oleh Adz Dzahabiy.
[396]  Dan ini – sebagaimana yang diriwayatkan-  tatkala Aisyah radhiyallahu 'anha datang untuk melongok Shafiyyah di awal kedatangnnya ke Madinah,( maka beliau (Aisyah) menyamar, dan memakai penutup wajah, kemudian Rasulullah r melihat kedua matanya dan beliau mengenalnya)  …diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan memilki penguat mursal dari Atha Ibnu Yasar sebagaiman yang diebutkan oleh Ibnu Sa’ad.
[397] Sebagai orang yang obyektif tentunya anda sekalian bisa membedakan mana yang benar, karena banyak sekali penulis-penulis tentang hijab wanita muslimah namun pada kenyataannya belum obyektif dalam menyikapi dalil-dali yang ada, mereka mempunyai keyakinan kemudian menggiring dalil-dalil yang ada kepada pemahaman yang sesuai dengan yang ada di dalam benak mereka, semua mengaku berlandaskan Al Kitab dan As Sunnah namun belum betul dalam menerapkannya, oleh sebab itu bila anda membaca buku-buku yang menjelaskan tidak wajibnya wanita menutup wajah dan kedua tangannya dengan penuh perhatian dan konsentrasi dan mengingat apa yang ada sebelumnya pasti anda dapatkan banyak kerancuan-kerancuan dan kontradiksi antar satu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang dikatakan oleh si penulis.(pent).

Harap Cantumkan Dicopy dari :

Website “Yayasan Al-Sofwa”
Jl. Raya Lenteng Agung Barat, No.35 Jagakarsa, Jakarta - Selatan (12610)
Telpon: (021)-788363-27 , Fax:(021)-788363-26
 www.alsofwah.or.id  ; E-mail: 
info@alsofwah.or.id

Dilarang Keras Memperbanyak Buku ini untuk diperjual belikan !!!


No comments:

Post a Comment